Penulis
Intisari-Online.com -Setelah mengalami persaingan Perang Dingin yang pahit, China dan Rusia lebih mesra saat kepemimpinan Xi Jinping sekarang ini.
Namun, China tampaknya terperangkap antara serangan militer Rusia, perlawanan sengit Ukraina, dan volume reaksi anti-Kremlin dari dunia akibat pertempuran itu.
China, yang sejak lama menuntut penghormatan terhadap integritas teritorial dalam sengketa perbatasan dengan para tetangganya sendiri, dipaksa melakukan perubahan retoris di Ukraina agar tidak membuat Rusia kesal.
Sambil tetap mengumbar pernyataan-pernyataan demi kedaulatan nasional, China sepakat dengan Rusia yang khawatir mengenai Ukraina dan ekspansi NATO yang dipimpin AS.
Pada saat yang sama, sensor di internet China yang dikontrol ketat kesulitan membentuk wacana publik domestik.
Awalnya China membolehkan netizen mengunggah pendapat anti-AS, tetapi kemudian menghapus konten-kontem yang membahas pengungsi Ukraina serta sentimen anti-perang.
"Anda bisa melihat kebingungan dalam pernyataan awal," kata Sergey Radchenko, profesor di Johns Hopkins School of Advanced International Studies.
Kegagalan untuk mengatasi situasi menempatkan Beijing pada risiko dicap sebagai pendukung Putin, yang berpotensi mengasingkan mitra dagang Barat dan membahayakan keseimbangan hubungan yang telah dibangun China dalam beberapa tahun terakhir dengan Ukraina dan Rusia.
Situasi ini secara efektif melumpuhkan China, menurut Richard Ghiasy, pakar di Pusat Studi Strategis Den Haag.
"Kepentingan keamanan hampir selalu mengalahkan kepentingan ekonomi" dalam perhitungan China, dan itu tidak akan secara fundamental bergeser ke arah sikap yang lebih pro-Ukraina, katanya kepada AFP.
Rusia adalah "tetangga raksasa, bersenjata nuklir, dan kaya sumber daya" yang tidak akan diambil risikonya oleh China, kata Ghiasy.
Posisi sulit China diperparah oleh nasib 6.000 warganya di Ukraina, yang sekarang secara bertahap dievakuasi melalui jalan darat dan kereta api ke negara-negara tetangga bersama dengan pengungsi lainnya.
Lebih dari belasan negara mendesak warganya untuk meninggalkan Ukraina pada pertengahan Februari, tetapi China menahan diri untuk tidak melakukan hal yang sama.
MelansirExpress.co.uk, Sabtu (5/3/2022), hingga saat ini, Beijing memilih angkat tangan dalam perang antaraRusia-Ukraina.
Menekankan status netralnya dalam konflik, China telah abstain dari dua suara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang agresiRusia, daripada bergabung dengan upaya Kremlin untuk memblokir mereka.
Yang terbaru dari pemungutan suara ini terjadi Rabu lalu di mana 141 dari 193 negara anggota memilih untuk menuntut penarikan segera Rusia dari Ukraina.
Meskipun tidak ikut serta dalam pemungutan suara, duta besar China untuk PBB Zhang Jun memberikan komentar yang dapat membuat marah para pejabat senior di Moskow.
Zhang menyerukan pemberian penghormatan kepada kedaulatan dan integritas Ukraina.
Dia berkata: "Ukraina harus menjadi jembatan antara Timur dan Barat, bukan pos terdepan konfrontasi antara kekuatan besar."
(*)