Find Us On Social Media :

Taktik Main Aman Xi Jinping dalam Pusaran Perang Rusia-Ukraina hingga 'Pertaruhkan Nyawa' 6.000 Warganya

By Muflika Nur Fuaddah, Senin, 7 Maret 2022 | 20:50 WIB

(Ilustrasi) Xi Jinping dan PLA.

Intisari-Online.com - Setelah mengalami persaingan Perang Dingin yang pahit, China dan Rusia lebih mesra saat kepemimpinan Xi Jinping sekarang ini.

Namun, China tampaknya terperangkap antara serangan militer Rusia, perlawanan sengit Ukraina, dan volume reaksi anti-Kremlin dari dunia akibat pertempuran itu.

China, yang sejak lama menuntut penghormatan terhadap integritas teritorial dalam sengketa perbatasan dengan para tetangganya sendiri, dipaksa melakukan perubahan retoris di Ukraina agar tidak membuat Rusia kesal.

Sambil tetap mengumbar pernyataan-pernyataan demi kedaulatan nasional, China sepakat dengan Rusia yang khawatir mengenai Ukraina dan ekspansi NATO yang dipimpin AS.

Pada saat yang sama, sensor di internet China yang dikontrol ketat kesulitan membentuk wacana publik domestik.

Awalnya China membolehkan netizen mengunggah pendapat anti-AS, tetapi kemudian menghapus konten-kontem yang membahas pengungsi Ukraina serta sentimen anti-perang.

"Anda bisa melihat kebingungan dalam pernyataan awal," kata Sergey Radchenko, profesor di Johns Hopkins School of Advanced International Studies.

Kegagalan untuk mengatasi situasi menempatkan Beijing pada risiko dicap sebagai pendukung Putin, yang berpotensi mengasingkan mitra dagang Barat dan membahayakan keseimbangan hubungan yang telah dibangun China dalam beberapa tahun terakhir dengan Ukraina dan Rusia.

Baca Juga: Jasadnya Diberi Zat Mengerikan Agar Hancur Tak Berbekas dan Sulit Dikenali, Inilah Anastasia, Putri Tsar Nicholas II yang Lolos dari Pembantaian Komunis Rusia

Baca Juga: Jadi Kunci Perlawanan Pasukan Ukraina Melawan Serangan Pasukan Rusia, Ternyata Rudal Javelin Bermakna Lebih dari Pertahanan Itu Sendiri, Begini Kisah Mengapa Javelin Jadi Simbol Ukraina

Situasi ini secara efektif melumpuhkan China, menurut Richard Ghiasy, pakar di Pusat Studi Strategis Den Haag.

"Kepentingan keamanan hampir selalu mengalahkan kepentingan ekonomi" dalam perhitungan China, dan itu tidak akan secara fundamental bergeser ke arah sikap yang lebih pro-Ukraina, katanya kepada AFP.