Find Us On Social Media :

Tak Mengenal 'Pria' Apalagi 'Suami', Siapa Sangka Begini Kehidupan 'Kerajaan Wanita' di Pedalaman China, Sampai Pakai Cara Ini Untuk Dapatkan Keturunan

By Mentari DP, Rabu, 16 Februari 2022 | 17:30 WIB

Kerajaan Wanita alias suku Mosuo.

Intisari-Online.com - Pernahkah Anda mendengar 'Kerajaan Wanita'?

Kerajaan Wanita berada di salah satu sudut terpencil China. Mereka adalah suku Mosuo.

Suku Mosuo adalah salah satu komunitas paling luar biasa dan langka di dunia.

Sebab mereka dipimpin oleh wanita dan menggunakan sistem matriarki.

Matriarki adalah sistem sosial di mana wanita memegang posisi kekuasaan utama dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak istimewa sosial dan kontrol properti.

Dilansir dari thevintagenews.com pada Rabu (16/2/2022), suku Mosuo tinggal di tepi Danau Lugu dan pegunungan terdekat di barat daya Cina.

Orang-orang Mosuo telah berhasil melestarikan cara hidup tradisional kuno karena kehidupan mereka sangat terpencil.

Mereka baru mulai melakukan kontak dengan dunia luar selama beberapa tahun terakhir.

Yang membuat suku ini begitu unik karena semua orang menggambarkan mereka sebagai “Kerajaan Wanita”.

Baca Juga: Nama Kerajaannya Hampir Tidak Pernah Terdengar dalam Sejarah, Tak Disangka Inilah Kerajaan Tertua di Nusantara yang Jadi Cikal Bakal Salah Satu Suku Terbesar di Indonesia

Baca Juga: 'Terlahir' dari Pria Gaib yang Menjadi Ayah Usai Mengusir Suami Orang Lain, Inilah Suku Chimbu, Suku Asli Papua yang Hancurkan Mental Musuh Lewat Tarian Kematian Ini

Di dunia matriarki ini, neneklah yang menempati kursi utama di meja makan.

Di Mosuo, pernikahan tidak dirancang seperti yang diharapkan oleh kebanyakan masyarakat modern.

Faktanya, Mosuo memiliki kata terpisah untuk persatuan mereka antara wanita dan pria — zou hun atau “pernikahan berjalan”.

Itu mungkin ciri paling unik dari komunitas ini.

Mereka bahkan tidak memiliki kata-kata dalam bahasa mereka untuk mengungkapkan konsep "ayah" atau "suami" seperti yang kita pahami.

Begitu wanita mencapai usia tertentu (biasanya pada masa remaja), mereka bebas memilih siapa yang akan menjadi pasangannya.

Mereka dapat memilih satu kekasih saja atau mengubahnya nanti ketika chemistry itu hilang dan kehidupan terus berjalan.

Siapa dan berapa banyak pria yang akan dipilih seorang wanita untuk bersama selama hidupnya, mereka tidak akan dihakimi oleh siapa pun.

Wanita jugalah yang mengundang pendamping pria ke tempatnya.

Para pria kemudian dapat bermalam, tetapi saat fajar menyingsing, tradisi mengharuskan mereka meninggalkan rumah tangga mereka yang didominasi wanita.

Pasangan jarang menetap bersama. Bahkan ketika bayi lahir mereka belum tentu diasuh oleh kedua orangtua bersama-sama.

Baca Juga: Susah Payah Direbut Majapahit Hingga Harus Berperang dengan Belanda dan Jepang, Warga Suku di Pulau Timur Indonesia Ini Malah Berakhir Memeluk Agama Islam

Baca Juga: Konon Mendiami Pedalaman Hutan Kalimantan, Inilah Kelompok Suku Dayak Penjaga Hutan Belantara Kalimantan hingga Dilabeli oleh Pemerintah Indonesia Sebagai Suku Terasing

Untuk Mosuo, garis keturunan ibu adalah kunci dalam bagaimana keluarga terbentuk.

Seorang anak dibesarkan di rumah ibunya, di mana nenek dan sejumlah keluarga besar juga dapat tinggal.

Pria yang menjadi ayah belum tentu memiliki kewajiban untuk menghidupi keturunannya.

Tapi seorang ayah juga bisa melihat anaknya kapapun dia mau atau membelikan mereka hadiah.

Dia boleh menjalin ikatan orangtua dengan cara apa pun.

Namun wanita tetap bertanggung jawab atas rumah tangga dan sumber daya keluarga dialokasikan.

Warisan aset keluarga diteruskan ke generasi berikutnya melalui ibu, setelah kematiannya.

Inilah yang membantu para wanita Mosuo memegang posisi kekuasaan yang progresif.

Tidak heran BBC sampai menyebut suku Mosuo sebagai salah satu masyarakat matriarki terakhir di dunia.

Baca Juga: Ketakutan Setengah Mati, Senapan AK-47 Prajurit Kopassus Sama Sekali Tidak Berguna Saat Masuk ke Sarang Suku 'Pemakan Manusia', Endingnya Sama Sekali Tak Terduga

Baca Juga: Pilih Tinggalkan Keraton dan Asingkan Diri di Kaki Gunung demi Hindari Penyebaran Islam dari Kesultanan Banten, Keturunan Pajajaran Ini Kini Malah Tersohor akan Adat Istiadatnya