Penulis
Intisari-Online.com - Tritura merupakan Tri Tuntutan Rakyat yang dirumuskan para mahasiswa sebagai bentuk sikap terhadap kondisi politik dan ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1960-an.
Isi Tritura atau tiga tuntutan rakyat tersebut, di antaranya:
1. Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)
2. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S
3. Turunkan harga
Tritura pertama kali dikumandangkan pada 10 Januari 1966. Para mahasiswa menggelar aksi di halaman fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI).
Usaha para mahasiswa untuk memperbaiki kondisi politik dan memperjuangkan hak rakyat itu menjadi catatan sejarah bangsa.
Untuk mengingat peristiwa bersejarah tersebut, kini tiap tanggal 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura.
Kondisi politik dan ekonomi Indonesia di sekitar tahun 1960-an melatarbelakangi lahirnya Tritura, seperti apa kondisi ekonomi Indonesia saat itu yang dikenal sebagai masa Demokrasi terpimpin?
Baca Juga: Tips Rahasia Minyak Goreng Tidak Cepat Hitam dan Tetap Jernih Walau Dipakai Berkali-kali, Yuk Coba!
Latar Belakang Lahirnya Tritura
Dalam Buku Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 (2011) yang diterbitkan Kemenparekraf tertulis bahwa kondisi politik di Indonesia dari tahun 1960 sampai dengan 1965 diwarnai oleh konstelasi tiga kekuatan politik.
Tiga kekuatan besar yang berkembang pada saat itu berpusat pada Soekarno, ABRI (Angkatan Darat) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketidakstabilan politik kemudian menyebabkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Belum lagi kebijakan Presiden Soekarno yang membuat Indonesia dijauhi negara barat karena sikap anti neokolonialisme dan neoimperialisme menyebabkan posisi Indonesia semakin sulit.
Sikap itu membuat Indonesia akhirnya kehilangan dukungan internasional baik di bidang politik maupun ekonomi.
Puncaknya adalah pada malam gerakan 30 September (G30S), yang menyeret PKI sebagai tertuduh pertama. Tetapi, menjelang pergantian tahun, belum ada tindakan pemerintah yang berdampak positif.
Lahirlah Tritura sebagai bentuk sikap para mahasiswa terhadap kondisi politik dan ekonomi Indonesia saat itu.
Kondisi Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin
Kondisi ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menjadi salah satu kondisi terburuk dalam catatan sejarah Indonesia.
Beberapa masalah yang dihadapi yakni:
1. Ekspor dan invesasi merosot
2. Menipisnya cadangan devisa
3. Inflasi mencapai ratusan persen
4. Harga kebutuhan pokok mahal
Seperti dilansir dari Demokrasi Liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018), pada masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia baru 15 tahun merdeka. Perekonomian masih sangat lemah. Kondisi politik saat itu masih bergejolak.
Berbagai pemberontakan terjadi di daerah. Pemberontakan dan gejolak ini juga membuat aktivitas perekonomian terganggu.
Pada masa demoktrasi terpimpin, diterapkan ekonomi terpimpin, yaitu sistem ekonomi di mana semua aktivitas ekonomi dipusatkan di pemerintah. Daerah hanya kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.
Pusat memegang kekuasaan yang besar. Kewenangan Soekarno saat itu pun sangat besar.
Kebijakannya untuk berkonfrontasi dengan Malaysia sejak 1961 berdampak pada perekonomian.
Sikap keras itu diperparah dengan keputusan Indonesia keluar dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 1965. Kegiatan ekspor pun terhenti.
Akibatnya, sejak tahun 1961, negara harus terus membiayai kekurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa.
Pada 1965 cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif sebesar 3 juta dollar AS sebagai dampak politik konfrontasi Malaysia dan negara-negara barat.
Di tengah kondisi tersebut, Soekarno justru makin gencar menghamburkan uang negara untuk menunjukkan kehebatan Indonesia.
Biaya pemerintah untuk proyek politik mercusuar seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) pada 1963 dan Conference of the Emerging Forces (Conefo) pada 1965 membengkak.
Besarnya defisit anggaran belanja pemerintah pada 1961-1965 meningkat. Dari 29,7 persen pada 1961 menjadi 63,4 persen pada 1965.
Sejak 1961, situasi moneter yang makin parah ditandai dengan laju inflasi yang tinggi (hiperinflasi). Pendapatan per kapita Indonesia turun secara signifikan antara 1962-1963.
Pada 1965, tingkat peredaran uang naik hingga 161 persen. Sementara inflasi mencapai 592 persen.
Bantuan asing berhenti karena Soekarno menolak bantuan dana sebesar 400 juta dollar AS dari International Monetary Fund (IMF). Investasi juga merosot tajam.
Meski begitu, Soekarno tidak mau disalahkan atas melonjaknya harga yang sebenarnya merupakan dampak blunder kebijakan ekonomi pemerintah, sehingga membuat rakyat semakin kecewa.
Buruknya kondisi perekonomian inilah yang menjadi salah satu alasan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) gagal di Indonesia.
Sementara demonstrasi besar-besaran yang terus digelar menuntut dipenuhinya Tritura pada akhirnya membuat Soekarno semakin terdesak, pengaruhnya melemah, hingga Orde Lama pun tumbang.