Penulis
Intisari-Online.com - Prabu Jayabaya bergelar Sri Maharaja Sri Wameswara Madhusudana Watarandita Parakrama Digjoyottunggadewanama Jayabhayalancana adalah Raja Kediri-Jawa Timur yang memerintah tahun 1135-1157.
Jayabaya juga dikenal sebagai raja yang membawa kesejahteraan bagi rakyatnya karena beliau bukan sekadar raja melainkan seorang pujangga dan peramal ulung pada zamannya.
Jayabaya diyakini sebagai titisan Dewa Wisnu dan masih keturunan Pandawa dari ayahnya.
Ayahnya adalah Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara, dan darinya lahir Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti.
Dewi Pramesti nantinya menikah dengan Astradarma, raja Yawastina, dan melahirkan Anglingdarma, raja Malawapati.
Banyak peristiwa yang terjadi di dunia dan Indonesia yang terkait dan dihubungkan dengan ramalan atau “jangka” Jayabaya termasuk dengan model ‘othak athik gathuk’.
Beliau adalah raja yang ‘waskitha’, tajam intuisinya dan ‘weruh sa’durunge winarah’ (tahu sebelum diajarkan).
Kesaktiannya dalam meramal diteruskan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1873) seorang pujangga Kasunanan Surakarta yang dipandang sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Salah satu dari sembilan ramalan Jayabaya yang terkenal di Indonesia adalah tentang zaman Edan yang kemudian oleh Ranggawarsita ditulis dalam serat Kalatidha.
DalamRatu Adil Satria Piningit dan Zaman Edanyang terbit diJurnal Dharmasmrti, disebutkan persoalan ‘kelumpuhan dunia’, meskipun tidak dinyatakan secara spesifik akibat pandemic Corona Virus (Covid-19) seperti saat ini, konon hal tersebut sudah diramalkan dalam Serat Jangka Jayabaya bahwa akan terjadi pada setiap tahun kembar, untuk saat ini ditafsirkan tahun 2020 yang angka-angkanya memang kembar sebagai berikut.
“…..sesuk yen wis ketemu tahun sing kembar bakal ketemu zamane langgar bubar, masjid korat-karit, ka’bah ora kaambah, begajul padha ucul, manungsa seda tanpa diupakara, kawula cilik padha kaluwen, para punggawa Negara makarya nganti lali kulawarga”.
Terjemahannya:
“…..besok bila bertemu tahun kembar maka akan bertemu masanya surau atau musala bubar, masjid tidak terurus, ka’bah tidak dikunjungi, penjahat lepas, manusia meninggal tidak diurus sebagaimana mestinya, akibatnya rakyat kecil kelaparan, walaupun para pejabat bekerja sampai lupa keluarga”.
Cuplikan paragraf di atas merupakan potongan syair dari ramalan Jayabaya tentang prediksi masa depan khususnya di bumi Nusantara dan kebetulan memang terjadi.
Walaupun ramalannya hanya didasarkan atas ketajaman intuisi sebagai seorang raja yang waskitha dan futurolog sakti pada zamannya.
Dari cuplikan tersebut, dikaitkan dengan fakta yang terjadi saat ini ternyata masih sangat relevan.
Tentang substansi serat Jangka Jayabaya memang banyak hal digaungkan mulai dari cerita kehidupan dan petunjuk-petunjuk yang masih relevan dengan kondisi yang bisa terjadi di masa depan.
Jayabaya sendiridiceritakan turun takhta ketika usianya sudah sangat tua.
Ia kemudian moksha (melepaskan diri dari ikatan duniawi) di Desa Menang, Kabupaten Kediri.
Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan dan sampai sekarang masih dikunjungi oleh masyarakat.
(*)