Bila benar aksi itu, aksi perusakan sesajen itu kemungkinan sesajen yang dilakukan oleh Suku Tengger yang berada di Lumajang.
Suku Tengger merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang disebut-sebut sebagai keturunan terakhir Majapahit, yang mendiami dataran tinggi di sekitar Pegunungan Tengger, meliputi wilayah Gunung Bromo dan Semeru.
Mengutip buku Perubahan Ekologis Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah Pegunungan Tengger karya Yulianti, menyebutkan bahwa secara etimologi, kata ‘tengger’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti tegak, diam tanpa bergerak.
Namun, bila dikaitkan dengan kepercayaan dalam kehidupan mereka, ‘tengger’ adalah singkatan dari tengering budi luhur.
Menurut kepercayaan Hindu di Pulau Jawa, pegunungan Tengger dianggap sebagai tempat suci yang dihuni oleh abdi spiritual dari Sang Hyang Widi Wasa, abdi ini disebut juga sebagai hulu.
Dari Prasasti Walandhit yang berangka 851 Saka atau 929 Masehi, dituliskan bahwa sebuah desa bernama Walandhit di Pegunungan Tengger adalah tempat suci yang dihuni olhe Hyang Hulun atau abdi Tuhan.
Prasasti Walandhit ini ditemukan di daerah Penanjakan (Desa Wonokitri) Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, yang berangka tahun 1327 Saka, atau 1405 M.
Rakyat di daerah Tengger masih mempertahankan identitasnya dari pengaruh Mataram, termasuk ketika harus takluk dengan pemerintah Belanda di tahun 1764.
Pada akhirnya kondisi sosial Suku Tengger berbeda dengan lainnya, karena mengisolasi diri dari luar selama bertahun-tahun, bahkan mereka masih mempertahankan kepercayaan para leluhurnya dari Majapahit meski hampir semua peradaban Jawa lainnya telah didominasi ajaran Islam.