Find Us On Social Media :

Sukses Kandaskan Serbuan Pasukan Mataram 'Hanya' Bermodal Tinja, Inilah Hans Madelijn, Komandan Pasukan Kompeni yang Temui Ajal Justru Gara-gara Jadi Pahlawan

By Khaerunisa, Rabu, 5 Januari 2022 | 20:10 WIB

Denah Kota Batavia sekitar 1627, setahun sebelum penyerangan Mataram ke Batavia.

Intisari-Online.com - Kedatangan bangsa Belanda di Nusantara yang semula diterima dengan baik oleh rakyat ataupun raja-raja yang berkuasa berubah ketika mereka mereka melakukan monopoli perdagangan.

Rakyat marah dan berani melawan di bawah pimpinan tokoh-tokoh lokal.

Salah satu kerajaan yang sering terlibat kontak senjata dengan Belanda adalah Kesultanan Mataram, terlebih ketika Mataram diperintah oleh Sultan Agung atau Mas Rangsang (1613-1645).

Pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia, Markas Kongsi Dagang Belanda VOC, sebanyak dua kali, yaitu 1628 dan 1629.

Rupanya, ada kisah unik ketika pasukan Kompeni -sebutan orang Nusantara untuk kongsi dagang Belanda- menghalau serbuan pasukan Mataram.

Mereka sukses mengandaskan serbuan itu 'hanya' bermodal tinja.

Itu adalah ide seorang Komandan Pasukan Kompeni bernama Hans Madelijn.

Melansir artikel National Geograhic Indonesia, Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi', oleh Mahandis Yoanata Thamrin, inilah Hans Madelijn dan kisahnya.

Baca Juga: Susah Payah Direbut Majapahit Hingga Harus Berperang dengan Belanda dan Jepang, Warga Suku di Pulau Timur Indonesia Ini Malah Berakhir Memeluk Agama Islam

Baca Juga: Disepakati Indonesia dengan Belanda, Ini Makna KMB Bagi Bangsa Indonesia

Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman, telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC.

Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669. Selain berisi kisah, buku itu juga berisi 36 litografi.

Neuhof berkisah ketika prajurit Mataram menyerang pertama kali ke Redoute Hollandia—sebuah bastion dengan bangunan pertahanan kecil yang berbentuk menara—di Batavia pada 1628.

Prajurit Mataram melancarkan serangan hebat di kubu Hollandia pada paruh kedua September 1628.

Sersan Hans Madelijn bersama 24 serdadunya—yang kabarnya hanya didukung dua artileri tempur—mencoba bertahan dari serangan itu.

Petrus Johannes Blok dan Philip Christiaan Molhuysen meriwayatkan sosok Madelijn dan takdir kubu Hollandia dalam Nieuw Nederlandsch Biografisch Woordenboek, yang terbit pada 1911.

Para garnisun Kota Batavia itu dikepung selama sebulan penuh, sejak Agustus, sehingga komandan Mataram merasa yakin dapat merebut kubu ini.

Pada malam 21 dan 22 September, kedua belah pihak bertempur habis-habisan. Lantaran sengitnya perlawanan, para garnisun VOC pun kewalahan hingga mereka kehabisan amunisi.

Baca Juga: Pernahkah Rasakan Jantung Berdebar Tiba-tiba Tanpa Sebab? Jantung Berdebar Pertanda Apa Menurut Primbon, Berikut Ini Berdasarkan Waktu Kejadian

Baca Juga: Weton Hari Ini Rabu 5 Januari 2022 Menurut Kalender Jawa, Begini Watak, Pekerjaan, hingga Asmara Wanita Rabu Legi

Ketika itulah Hans Madelijn memberikan 'ide gilanya', yaitu menggunakan tinja untuk melempari pasukan Mataram.

Pemuda berusia 23 tahun itu menyelinap ke ruang serdadu kemudian menyuruh anak buahnya untuk membawa sekeranjang penuh tinja.

Dengan segala rasa putus asa, kubu ini melemparkan tinja mereka ke tubuh-tubuh serdadu Jawa yang meradang dan merayapi dinding kubu Hollandia.

Sekejap, mereka lari tunggang-langgang karena perkara yang menjijikkan itu. Tampaknya, hasil dari gagasan Madelijn itu cukup manjur.

Hari berikutnya, prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Serangan Mataram pun gagal.

Bahkan, lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”.

Sersan Hans Madelijn tentu bangga atas prestasinya. Laporan kemenangan itu sampai juga ke Gubernur Jenderal di Kastel. Atas keberhasilan mengusir serangan Mataram, Madelijn menjadi pahlawan pada hari itu.

Kendati demikian, sebagai seorang serdadu asing, kenaikan pangkatnya tak begitu tinggi. Ia mendapatkan pangkat barunya sebagai letnan.

Baca Juga: Fotonya Begitu Terkenal hingga Mengguncang Emosi Siapapun yang Melihatnya, Beginilah Akhir Fotografer yang Rekam Momen Bocah Kelaparan dan Burung Bangkai Ini

Baca Juga: Inilah Negara yang Terletak Paling Utara di ASEAN, Sekaligus Satu-satunya Negara yang Memiliki Tiga Musim di Asia Tenggara

Namun, pangkat itu juga yang membawanya berjumpa dengan ajal. Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika sedang meredam kerusuhan di Amboina pada 1639.

Babad Tanah Jawi, yang berisi kisah raja-raja Jawa, juga merekam pertempuran terkonyol dalam sejarah VOC itu.

Pada 1941, seorang sejarawan Belanda bernama W.L. Olthof telah menerjemahkan salah satu versi Babad Tanah Jawi. Dia menerjemahkan bundel Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 ke dalam paparan prosa berbahasa Belanda.

Babad itu mengisahkan, “Orang Belanda bubuk mesiunya semakin menipis. Kotoran orang atau tinja dibuat obat mimis. Orang Jawa banyak yang muntah-muntah, sebab kena tinja...”

Selain itu, Thomas Stamford Raffles pun menceritakan perihal sebutan "Kota Tahi" dalam bukunya yang bertajuk History of Java Volume II halaman 168, terbit di London pada 1817.

"...Pada waktu itu, karena orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan orang-orang Jawa, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut menemui kegagalan," tulis Raffles.

"Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tai."

Itulah bagaimana kisah tentang ide 'gila' dari sosok Hans Madelijn dalam pertempuran pasukan VOC dan pasukan Mataram.

Baca Juga: Semuanya Dibantai Habis oleh Mahapahit, Ternyata Ada Satu-satunya Orang Sunda yang Berhasil Selamat Perang Bubat, Bukan karena Kesaktiannnya Tetapi karena Gunakan Trik Ini

Baca Juga: Inilah Lembah Mumi Emas, Pemakaman Terbesar di Mesir Sejak Zaman Yunani-Romawi, dengan Gaya dan Tingkat Sosial yang Berbeda, Perlihatkan Status Sosial di Masyarakat pada Masa Itu

(*)