Penulis
Intisari-Online.com – Gajah Mada, merupakan patih atau ‘perdana menteri’ kerajaan Hindu kuno Majapahit.
Dia dianggap sebagai pahlawan nasional dan dikreditkan untuk menyatukan seluruh Nusantara di bawah kerajaan Majapahit.
Nusantara, merupakan istilah Melayu-Indonesia, untuk kepulauan Indonesia, yang pada masa kejaannya meliputi Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, dan Timor Timur.
Majapahit juga memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan Thailand Ayuthaya, Martaban (Myanmar), Kamboja, Vietnam, dan China.
Atas apa yang dilakukan oleh Gajah Mada, maka berbagai jalan, gedung, bahkan institusi pun dinamai menurut nama patih itu.
Sebut saja, salah satu institusi pendidikan tinggi tertua dan terbesar di negeri ini, yaitu Universitas Gadjah Mada.
Jika Gajah Mada begitu hebat, mengapa tidak ada tempat yang dinamai menurut namanya di bagian barat Jawa ini?
Jawa modern menjadi rumah bagi beragam kelompok etnis dan agama, secara historis didominasi oleh dua suku, yaitu Jawa dan Sunda.
Orang Jawa merupakan kelompok etnis terbesar di Indonesia, yang mencapai 40,1 persen dari total populasi.
Sebagian besar orang Jawa memadati Jawa bagian tengah dan timur.
Sementara, bagian barat Jawa dikenal sebagai Tanah Sunda, dan didominasi oleh orang Sunda, yang merupakan kelompok etnis terbesar kedua di Indonesia dengan hanya 15,5 persen.
Meskipun kedua suku tersebut berbagi pulau yang sama, orang Sunda memiliki bahasa, sistem penulisan tradisional, dan budaya yang berbeda dari orang Jawa.
Untuk memahami mengapa kepahlawanan Gajah Mada tidak dihormati di Tanah Sunda, maka kita harus melakukan perjalanan kembali ke abad ke-14 dan belajar tentang tragedi romantis yang jauh lebih besar daripada Romeo dan Juliet, dan selanjutnya konsekuensinya bagi Indonesia modern.
Semua kisah itu berawal ketika seorang raja Majapahit, Hayam Wuruk, melamar seorang putri Sunda, Dyah Pitaloka Citaresmi, untuk menikah dengannya.
Ada yang mengatakan bahwa Hayam Wuruk jatuh cinta pada putri itu yang terkenal karena kecantikannya, sementara yang lain berspekulasi bahwa lamaran pernikahan itu bersifat politis.
Saat itu, Kerajaan Majapahit sedang berkembang pesat di bawah kepemimpinan patih Gajah Mada, yang bersumpah untuk tidak makan makanan dengan rempah-rempah sampai ia menyatukan seluruh Nusantara.
Sumpahnya itu dikenal sebagai Sumpah Palapa, yang menyatakan:
“Jika (saya berhasil) mengalahkan (menaklukkan) Nusantara, (maka) saya akan berbuka. Kalau Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik kalah semua, (maka) saya berbuka.”
Beberapa tempat penting yang disebutkan dalam sumpah Gajah Mada adalah Pahang (Malaysia modern), Tumasik/Temasek (Singapura modern) dan terakhir, Sunda.
Keluarga kerajaan Sunda, bertekad untuk melindungi tanah mereka dari penaklukan Majapahit, melihat lamaran pernikahan sebagai kesempatan untuk membina aliansi.
Raja Sunda, Lingga Buana, pun memberikan restunya dan menemani putrinya untuk dinikahkan di ibu kota Majapahit, Trowulan.
Ketika raja Sunda dan rombongan kerajaannya tiba di Majapahit pada tahun 1357, mereka disambut oleh Gajah Mada.
Alih-alih menjadi aliansi, patih yang ambisius itu melihat peristiwa itu sebagai kesempatan untuk menuntut penyerahan Sunda ke Majapahit.
Dia juga bersikeras, bahwa sang putri hanya dijadikan selir, bukan menjadi permaisuri Majapahit.
Tentu saja, keluarga kerajaan Sunda marah dan menolak tuntutan tersebut, dan ini membuat Gajah Mada mengerahkan pasukan kecil Majapahit.
Meskipun menunjukkan keberanian besar dalam melawan pasukan itu, keluarga kerajaan Sunda yang kalah jumlah dengan cepat dimusnahkan, Raja Lingga Buana sendiri terbunuh dalam pertempuran itu.
Legenda menyebutkan bahwa Putri Dyah Pitaloka kemudian melakukan bunuh diri ritualistik untuk mempertahankan kehormatan kerajaannya, daripada hidup karena penaklukan dan perbudakan.
Pertempuran ini kemudian disebut sebagai Pertempuran Bubat, dinamai dari alun-alun Bubat, tempat pertempuran itu terjadi.
Kisah kematian tragis raja dan putri mereka pun beredar di masyarakat Sunda dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Keberanian sang putri dan raja untuk mempertahankan kehormatan mereka menghadapi azab, dipuja sebagai tindakan mulia dalam puisi dan cerita Sunda.
Setelah kematiannya, Lingga Buana berganti nama menjadi Prabu Wangi (raja dengan bau harum), dan keturunannya kemudian dikenal sebagai Siliwangi (penerus wangi), melansir kontinentalist.
Indonesia sekarang adalah sebuah negara republik demokratis yang dipimpin oleh seorang presiden.
Satu-satunya keluarga kerajaan yang memegang yuridiksi atas bagian negara adalah Kesultanan Yogyakarta, sebuah monarki Islam Jawa yang memerintah wilayah otonomi khusus Yogyakarta.
Bagaimana dengan Majapahit sendiri?
Majapahit runtuh pada abad ke-16, meskipun kemunduran kerajaan ini dimulai jauh lebih awal setelah kematian Gajah Mada.
Gajah Mada meninggal pada tahun 1364, tujuh tahun setelah Pertempuran Bubat.
Namun, ketegangan antara orang Sunda dan orang Jawa tetap ada.
Beberapa orang Sunda masih percaya bahwa pernikahan antara orang Sunda dan orang Jawa dilarang, seperti halnya Romeo dan Juliet.
Jika Anda merasa sulit untuk percaya bagaimana pertempuran abad ke-14 dapat mengakibatkan ketegangan etnis selama tujuh abad, rasanya Anda tidak sendirian.
"Pertempuran Bubat itu nyata, tetapi detail peristiwanya tidak lengkap," kata Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat ketika itu, dalam sebuah artikel oleh media berita nasional Indonesia Kompas.
“Kisah pertempuran itu terungkap dalam Pararaton (Kitab Raja-Raja, babad Jawa) yang ditulis 117 tahun setelah pertempuran. Jadi tentu saja (ceritanya) bias.”
Menurut Heryawan, penyebab ketegangan Sunda-Jawa modern bukan karena Pertempuran Bubat itu sendiri, tetapi karena propoganda kolonial Belanda, yang mendorong perpecahan etnis untuk dapat lebih mengontrol koloninya.
Hampir 700 tahun sejak Pertempuran Bubat, yaitu pada Agustus 2017, Sultan Hamengkubuwoon X Yogyakarta, yang juga bertindak sebagai gubernur, mengesahkan Jalan Lingkar Yogyakarta.
Meskipun dibangun di atas bekas wilayah Majapahit, proyek jalan lingkar ini terdiri dari dua arteri dengan nama Sunda, yang pertama dalam sejarah Jawa.
Arteri pertama disebut Siliwangi, untuk menghormati keturunan Prabu Wangi.
Arteri kedua disebut Pajajaran, untuk menghormati ibu kota Kerajaan Sunda kuno.
Itu adalah upaya berani untuk memerangi generasi kebencian.
Langkah tersebut dipuji oleh Heryawan yang menyatakan bersedia membalas dengan menamai dua jalan di Jawa Barat untuk menghormati Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
Namun, hingga kini tidak jelas, apakah itu ditindaklanjuti atau tidak.
Lalu, akankah perpecahan etnis yang sudah berusia berabad-abad ini akhirnya sembuh?
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari