Advertorial
Intisari-Online.com – Kidung Sunda merupakan karyawa sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan yang berbentuk tembang (syair).
Meski namanya Kidung Sunda, namun naskah karya sastra ini ditemukan di Bali.
Seorang ahli Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi Kidung Sunda, yaitu Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (perjalanan orang Sunda).
Kidung Sunda lebih panjang daripada Kidung Sundayana dan mutu kesusastraannya lebih tinggi.
Dalam Kidung Sunda dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit ingin mencari seorang permaisur, namun dia menginginkan putri Sunda yang tidak disebutkan namanya dalam kisah ini.
Sayangnya, patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit.
Maka terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan penganting Sunda dengan prajurit Majapahit di pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda.
Pertempuran yang tidak seimbang ini membuat rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan putri Sunda yang ikut perang juga gugur dalam peperangan.
Cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda dengan gaya bahasa lugas dan lancar, tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis.
Mengutip Wikipedia, kisah dalam Kidung Sunda memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat.
Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, tokoh protagonis dalam kisah ini bisa ‘hidup’.
Seperti adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada dilukiskan secara hidup, meski kasar.
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda pun dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.
Cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal, semuanya bisa saja terjadi, kecuali moksanya patih Gajah Mada.
Dalam Kidung Sunda ini, nama raja, ratu, dan putri Sunda tidak disebutkan namanya, namun dalam sumber lain sering disebut bernama Dyah Pitaloka.
Dalam teks Kidung Sunda juga dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda.
Rupanya orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada.
Sementara, yang disebut orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci, Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura (Kabupaten Ketapang), dan Sawakung (Pulau Sebuku).
Sama halnya dengan kakawin Negarakertagama yang tidak menyebut tanah Sunda sebagai wilayah Majapahit sehingga mereka harus membayar upeti.
Tetapi di Negarakertagama, nama Madura juga tidak disebut.
Naskah dalam Kidung Sunda ini berasal dari Bali, namun tidak jelas apakah teks itu ditulis di Jawa atau di Bali, bahkan nama penulisnya pun tidak diketahui.
Termasuk masa penulisan pun tidak diketahui dengan pasti.
Hanya saja di dalam teks disebut tentang bedil (senjata bubuk mesiu atau senjata api).
Senjata berbasis bubuk mesiu ini masuk ke Indonesia sejak perang Jawa-Mongol Yuan, ketika pasukan Mongol menyerang Kediri dengan pao (bahasa China untuk meriam).
Meriam yang disebut cetbang ini umunya digunakan saat ekspansi Majapahit tahun 1336-1350.
Yang jelas, puisi dalam Kidung Sunda ini disusun setelah tahun 1540 karena ada deskripsi kuda Anepaken, pati Sunda, yang bisa dibandingkan dengan kuda Ranggalawe, tokoh terkenal dari puisi Jawa lainnya, yaitu Kidung Ranggalawe yang disusun pada 1540.
Pengaruh Islam terlihat pada Kidung Sunda berisi beberapa kata pinjaman Persia-Arab seperti ‘kabar’ (berita) dan ‘subandar’ (sinonim dengan ‘syahbandar’, yang berarti kepala pelabuhan).
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari