Penulis
Intisari - Online.com -Thailand pernah mengalami unjuk rasa hebat yang menuntut bentuk negara berubah dari monarki menjadi demokrasi.
Unjuk rasa ini dilakukan oleh mahasiswa Thailand yang muak dengan kerajaan Thailand karena sudah dirasa sudah terlalu korup terutama oleh raja Thailand, Raja Maha Vajiralongkorn.
Namun di satu sisi, gerakan protes mahasiswa Thailand yang pernah tampak sebagai ancaman eksistensial terhadap kerajaan ternyata malah sudah ditunggangi politik Thailand.
Di sisi lain, amarah atas pemerintah yang dipandang korup dalam urusan vaksin Covid-19 yang tidak cukup telah berkurang karena kerajaan memasuki kondisi imunitas karena vaksin dan ekonomi mulai pulih.
Namun ada juga hal lain yang melatarbelakangi, yaitu permainan kekuatan oleh partai yang berkuasa, Partai Palang Pracharat (PPRP) melawan perdana menteri akhirnya dicabut dan dijatuhkan.
Hal ini membuat Perdana Menteri Thailand, Prayut Chan-o-cha, kembali mencengkeram pantai konservatif dan politisi berpangkat.
Mengutip Asia Times, dari satu krisis ke krisis lain, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha yang merupakan pensiunan tentara telah menghadapi semua penantang dan sementara sering didorong mundur, ia telah menentang prediksi kematiannya.
September lalu, Eurasia Group memprediksi dengan kepastian statistik 35% jika Prayut akan "dicopot" termasuk lewat kemungkinan kudeta pada akhir tahun, sebuah skenario yang membutuhkan dukungan kerajaan.
Konsultan risiko kemudian menaruh "peluang signifikan" atas penggulingan perdana menteri.
Kemudian sampai hampir akhir tahun ini, Prayut yang awalnya menjadi penengah rakyat dan kerajaan malah justru pamer kekuasaan dan ingin lebih lama berkuasa di masa depan.
Ia bertujuan untuk memanfaatkan kasus Covid-19 yang mulai menurun dengan cepat, memulihkan ekonomi dan pelaksanaan APEC tahun depan di Bangkok untuk posisi politiknya dalam poling 2023.
Pemerintahan Prayut ketiga mulai tampak sangat mungkin jika tidak ada perubahan undang-undang pemilihan dan seorang Senat yang ditunjuk militer dengan peran raja memilih perdana menteri, yang malah akan menguntungkan Prayut dan PPRP untuk mempertahankan kekuasaan.
Perubahan pemilihan akan membantu partai-partai besar melawan partai kecil dan diperkirakan membuat pemilihan umum berikutnya menjadi "perlombaan kuda" antara PPRP dan Peua Thai, partai buatan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra yang diasingkan.
Tentunya hal itu akan merugikan bagi Partai Gerakan Maju, partai buatan gerakan pemuda Thanathorn Juangroonruangkit, yang tampak bertekad tetap berada di tepi politik untuk masa depan setelah hasil pemilihan yang kuat di tahun 2019.
Prayut sudah berulang kali mengatakan ia akan bertugas sesuai masa jabatan 4 tahunnya, yang disebut penasihatnya akan memberikan ia waktu memulihkan ekonomi, membangun masa pondasi baru untuk masa depan PPRP, mengalahkan politikus partai lain dan membentuk warisannya sebagai pemimpin terpilih, alih-alih pemimpin kudeta, walaupun sebagian besar masa jabatannya sekarang hampir habis karena penanganan Covid-19.
Salah satu sumber pemerintah terkemuka mengatakan Prayut berniat memimpin pertemuan APEC November tahun depan di Bangkok, di mana pemimpin dunia termasuk Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping sudah akan datang langsung alih-alih virtual.
Prayut berniat menjadikan agenda ini agenda dunia yang sukses.
Thailand sempat hampir disisihkan ketika mereka tidak diundang dari pertemuan yang disusun Joe Biden, "Summit for Democracy" minggu lalu, walaupun Thailand sudah mengadakan pemilihan tiap 5 tahun sekali di bawah pemerintahan Prayut.
Namun kunjungan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken minggu ini ke Bangkok, disusul oleh wakil direktur CIA David Cohen yang akan bertemu dengan Prayut pada 20 November, menunjukkan jika Thailand masih penting dalam strategi AS.
Hal ini menjadi realita baru jika pemerintahan Prayut yang merupakan pemerintahan kudeta mulai berusaha menduduki posisi penting dalam Perang Dingin Baru.
Dan sementara warisan mantan komandan angkatan darat Thailand itu sebagai pemimpin demokrasi masih diragukan dengan pemimpin demonstrasi mahasiswa ditahan, kritik terhadap kerajaan Thailand tetap ada.
Hal ini ditambah dengan pengaruh militer kuat di dalam pemerintahannya membuat catatannya sebagai pemimpin gesit, jika bukan pelaksana politik kejam, sudah merupakan kepastian.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini