Find Us On Social Media :

Hikayat Teror Terhadap Syi’i di Solo (Part 1)

By Wentina Magdalena, Kamis, 9 Desember 2021 | 10:25 WIB

Pada saat penyerangan terjadi, listrik rumah dan jalan di Pasar Kliwon padam.

Intisari-Online.com - "Saya merinding bila mengingat kejadian persekusi terakhir."

Itulah ekspresi Riana (bukan nama sebenarnya), pada 27 November lalu, mengingat peristiwa serangan 100 massa terhadap jemaah Syiah di rumah alm. Segaf Al Jufri di Kampung Mertodranan, Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Serangan pada 8 Agustus 2020 lalu itu menyebabkan tiga jemaah Syiah luka-luka.

Bagi para jemaah yang hadir saat itu, kasus itu menimbulkan kengerian tersendiri.

Selain melakukan kekerasan, massa meneriakkan makian "Syiah sesat", "kafir" dan semacamnya.

Peristiwa di Solo merupakan satu dari sekian kasus praktik intimidasi dan kekerasan terhadap Syiah.

Sebelumnya kasus penyerangan terhadap kelompok minoritas ini di Sampang, Madura, 26 Agustus 2012, yang menyebabkan satu orang meninggal.

Buntutnya mereka terusir dari daerahnya dan direlokasi ke Sidoarjo, Jawa Timur.

Kronologi

Riana awalnya mendapat undangan doa pernikahan dari temannya, Umar Assegaf, yang ia kenal sejak tahun 1994.

Menyambut pernikahan itu, mereka mengadakan pengajian yang diikuti kurang lebih 15 orang jemaah Syiah. Acara kecil keluarga itu ternyata berakhir tragis.

Tiba-tiba datang sekitar 100 orang laskar yang melakukan penyerangan itu.

Mereka juga meneriakkan "Keluar! Syiah sesat, kafir, halal darahnya” dan semacamnya.

Teriakan massa itu menambah kengerian di telinga Riana saat itu.

Saat terjadi serangan, listrik rumah dan jalan di daerah Pasar Kliwon padam.

Tak berselang lama polisi datang, namun kesulitan menanganinya. Usaha polisi untuk bernegoisasi dengan kedua pihak tidak membuahkan hasil.

Riana bersama suami akhirnya memutuskan keluar menumpang mobil temannya demi keamanan.

Perkiraannya meleset! Massa malah mengeroyok kendaraan yang ia tumpangi. Ia bisa melihat dengan jelas massa melempar batu dan sebuah tongkat besi ke kaca jendela penumpang.

Serpihan kaca itu melukai sekujur tubuh teman perempuannya. Suami perempuan itu terluka di pelipis kanannya.

Riana beruntung karena tak terluka. Namun sepanjang jalan ia mengaku tak habis pikir.

"Kok tega ya. Standar dasar manusia tuh nggak dijalankan. Andai kata itu terjadi sama keluarganya, itukan sangat tidak manusiawi. Di luar batas kemanusiaan karena sangat brutal," ujarnya.

Perasaan sama juga dialami Habibah, teman Riana.

"Sulit menerima. Kok bisa ada kejadian itu ya," kata pempuan 49 tahun ini.

Ia pernah mengalami kasus penyerangan pertama pada 2018 silam bersama Riana. 

Saat mengikuti pengajian 10 Muharram atau acara Asyura, tiba-tiba mereka mendengar teriakan massa.

Habibah mengaku tak habis pikir mengapa ucapan kotor seperti itu bisa keluar dari mulut golongan yang ia katakan seperti saudara.

"Kan sesama Islam. Harusnya mereka tahu tidak seharusnya seperti itu," ujarnya.

"Aku cuman pikir kasihan anak-anak perempuan kecil di dalam diteriakin begitu," kata Habibah.

Ada beberapa anak teman remaja yang mengalami ketakutan pasca penyerangan tahun 2018.

Itu yang membuat mereka tak ingin mengikuti pengajian lagi. Ada juga yang tak ambil pusing dengan itu.

Saat serangan itu, Riana melihat salah seorang dari massa naik ke atas sebuah pick-up dan menyampaikan orang yang menyudutkan Syi'i.

Dari pernyataan-pernyataan itu ia menilai banyak sekali pemahaman yang tidak benar tentang Syiah.

Riana menilai beberapa video yang beradar dan pemberitaan kasus itu menyudutkan para Syi'i. Kasus itu juga membuatnya tak dekat dengan keluarganya. Pertemuan keluarga juga tidak sehangat dulu.

"Mereka bilang, 'kamu buat malu'," ucap Riana.

Habibah dan Riana sama-sama memahami bahwa memeluk Syiah tidaklah mudah. Pemahaman ini juga mereka bekalkan kepada anak -anak mereka.

"Saya ajarkan mereka agar tidak ikut menghujat atau membenci. Mau ikut amalan Syiah oke, ndak apa-apa, yang penting Islam," tutur Habibah.

Keduanya mengaku pasrah atas kasus penyerangan itu dan berserah kepada Yang Maha Kuasa agar mendapat perlindungan.

"Aku anggap mereka ga kenal kami. Mereka hanya terprovokasi," kata Habibah. 

"Sejak 1994, saya pindah ke Solo bersama suami. Saya tidak pernah mengalami hal seperti ini." Timpal Riana.