Penulis
Intisari-Online.com -Husniati (26) asal Nusa Tenggara Barat adalah salah seorang pemegang visa 'Working Holiday' (WHV) yang sudah tiba di Australia sejak Maret 2020 dan sebelumnya bekerja di beberapa ladang pertanian di negara bagian Queensland.
Bagi mereka yangbekerja sebagai pemetik buah di Australia nantinya hanya akan dibayar dengan sistem upah per jam dengan bayaran minimum, tidak lagi dibayar berdasarkan berapa yang petik.
Melansir Kompas.com, keputusan tersebut dikeluarkan oleh lembaga Fair Work Comission awal November lalu dan dalam waktu dekat segera akan diberlakukan.
"Saya sudah pernah bekerja memetik buah lemon, juga memetik tomat di Queensland," katanya kepada wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
"Juga sudah pernah bekerja dibayar per keranjang dan juga bekerja dibayar per jam."
Ia mengaku lebih memilih bekerja dengan sistem bayaran berdasarkan berapa banyak keranjang dari hasil buah yang dipetiknya setiap hari.
Harga upah per keranjang biasanya sudah disepakati oleh pemilik kebun dan pekerja.
Husniati mengatakan ia pernah mendapatkan hampir 3.000 dollar Australia atau sekitar Rp 30 juta per minggu ketika memetik buah per keranjang.
Sementara jika dibandingkan dengan bayaran upah dihitung per jam saat itu, ia mendapatkan antara 1.200 hingga 1.500 dollar Australia atau sekitar Rp 12-15 juta per minggu.
Serikat pekerja Australian Workers Union (AWU) sebelumnya sudah mendesak agar setiap pemetik buah harus mendapat bayaran minimum untuk pekerja kasual, yakni setidaknya 25,41 dollar Australia, atau lebih dari Rp 250.000, per jam.
Jika nantinya ia akan dibayar per jam dengan upah minimum, Husniati juga mengaku tidak keberatan.
"Kerja per jam juga boleh juga, karena kerjanya santai. Dan bayarannya juga bagus, karena dahulu ketika saya datang bayarannya per jam sekitar 24.60 dollar Australia per jam," ujarnya.
Tak hanya itu, dengan sistem pembayaran upah per jam, ia juga bisa menghindar dari rasa kelelahan.
"Sistem pembayaran per jam lebih manusiawi"
Pekerja lainnya, Gigih Giandono saat ini bekerja di sebuah perkebunan pisang di Mareeeba, Queensland dengan bayaran kerja per jam, sesuai keinginannya.
Menurutnya, dia tidak mau bekerja dengan sistem bayaran per keranjang karena sebelumnya mendengar cerita-cerita buruk dari teman-temannya yang pernah mengalaminya.
"Saya dengar harga per keranjang yang diberikan petani itu murah sekali. Jadi walau kita kerja 8 sampai 9 jam, bayaran yang kita dapat di bawah standar."
"Biasanya kalau kerja per jam sehari dapat 180 dollar Australia, kalau per keranjang tidak dapat segitu," katanya kepada ABC Indonesia.
Oleh karena itu, Gigih yang sudah hampir dua tahun berada di Australia mengatakan setuju dengan perubahan kebijakan dengan pembayaran upah minimum per jam.
"Saya setuju aturan diubah. Bayaran per jam lebih manusiawi. "
"Kerja per jam lebih santai dan dapat upah yang sesuai," kata Gigih yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat dan pernah menjadi fotografer lepasan di Indonesia.
Gigih selama ini sudah pernah bekerja memetik mangga, longan, dan juga bekerja di kebun anggur selama dua tahun terakhir.
Keputusan dari Fair Work Commission mengenai perubahan sistem upah menjadi bayaran minimum per jam saat ini belum menjadi hukum resmi.
Namun mereka yang menentang keputusan tersebut masih bisa mengajukan banding sebelum akhir tahun 2021.
(*)