Find Us On Social Media :

Kehidupan dan Asal-usulnya Penuh Misteri, Akhirnya Terkuak Asal-usul Gajah Mada, Siapa Orang Tuanya, hingga Kisah Masa Lalunya

By Muflika Nur Fuaddah, Kamis, 18 November 2021 | 16:34 WIB

Agama Mahapatih Gajah Mada akhirnya terungkap lewat bukti ini, benarkah beragama Islam.

Sehingga jika tafsiran ini diikuti maka Gajah Mada anak dari Patih Logender baru ada setelah Majapahit melewati masa kejayaannya.

Sedangkan dalam berbagai prasasti dan Kakawin Nagarakertagama sebagai bukti yang otentik disebutkan bahwa Gajah Mada berperan dalam masa awal dan masa kejayaan Majapahit dalam periode kekuasaan Hayam Wuruk.

Hal yang paling menarik dalam kitab Babad Arung Bondan dan dapat dijadikan interpretasi lebih lanjut adalah pernyataan bahwa Gajah Mada merupakan anak dari seorang Mahapatih.

Adapun nama patih yang menjadi ayah Gajah Mada masih belum akurat, sebab dalam kisah-kisah tradisional nama tokoh sering berganti karena diceritakan secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang berbeda.

Baca Juga: Pernah Bawa Majapahit Berjaya Kuasai Nusantara, Patih Gajah Mada Justru Berakhir Tragis, Jadi Buronan Prajuritnya Sendiri Hingga Memilih 'Moksa' Untuk Mengakhiri Hidupnya

3. Babad Gajah Mada

Merupakan karya sastra Bali di masa selanjutnya.

Diceritakan bahwa ada seorang pendeta muda bernama Mpu Sura Dharma Yogi yang memiliki istri bernama Patni Nari Ratih, istri yang diberikan oleh gurunya Mpu Raga Gunting atau yang dijuluki Mpu Sura Dharma Wiyasa.

Mpu Sura Darma Yogi membuat huma di sebelah selatan Lembah Tulis sedangkan Patni Nari Ratih tetap tinggal di pertamanan, hanya sesekali ia menengok sang suami di huma yang baru dibuat.

Dewa Brahma jatuh cinta kepada Patni Nari Ratih karena parasnya yang cantik.

Hingga suatu ketika Nari Ratih diperkosa oleh Dewa Brahma di gubuk yang sepi.

Peristiwa tersebut Nari Ratih adukan kepada sang suami.

Sehingga akhirnya mereka pergi mengembara selama berbulan-bulan lamanya.

Baca Juga: Tribuwana Tunggadewi: Ratu Majapahit Pembawa Majapahit Menuju Puncak Kejayaan, Keputusan Paling Penting dalam Sejarah Ini Pun Diambilnya

Ketika sang bayi yang ada dalam kadungan sudah waktunya untuk lahir, mereka tiba di desa Mada yang terletak di kaki Gunung Semeru.

Lahirlah sang bayi laki-laki dengan diiringi peristiwa alam yang menandakan bahwa sang bayi kelak akan menjadi tokoh penting.

Bayi laki-laki tersebut diasuh oleh kepala Desa Mada, sedangkan kedua orangtuanya pergi bertapa di puncak Gunung Plambang untuk memohon keselamatan dan kejayaan bagi si bayi.

Dewata mengabulkan permohonan tersebut dengan mengatakan bahwa kelak si bayi akan menjadi orang yang dikenal di seluruh nusantara.

Bertahun-tahun berlalu, Mahapatih Majapahit datang ke desa Mada dan mengajak anak kepala desa bernama Mada yang sekarang beranjak remaja untuk ikut ke Majapahit dan mengabdi kepada raja.

Mahapatih Majapahit kemudian menikahkan Mada dengan putrinya yang bernama Ken Bebed, lalu membantu Mada untuk menggantikan kedudukannya sebagai Mahapatih Amangkubumi Majapahit.

Berkat Mahapatih Amangkubumi Mada, Majapahit berhasil mengembangkan kekuasaannya hingga banyak raja dari luar Pulau Jawa yang tunduk kepada Raja Majapahit (Muljana 1983:175).

Baca Juga: 'Cleopatra dari Nusantara', Inilah Gayatri Rajapatni Mentor Sang Mahapatih Gajah Mada yang Kejeniusannya Disejajarkan dengan Pemimpin Mesir Tersebut

Cita-cita Gajah Mada

Saat dilantik menjadi mahapatih, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan sebutan Sumpah Palapa.

Isi Sumpah Palapa, yaitu:

"Lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa. Lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Baki, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa"

(Selama aku belum menyatukan Nusantara, aku takkan menikmati palapa (kesenangan). Sebelum aku menaklukkan Pulau Gurun, Pyulau Seram, Tanjungpura, Pulau Haru, Pulau Pahang, Dompo, Pulau Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, aku takkan mencicipi palapa).

Ketika sumpah tersebut diucapkan, banyak yang meremehkan dan menertawakan cita-cita Gajah Mada untuk menyatukan nusantara.

(*)