Find Us On Social Media :

Sempat Bikin Heboh Seantero Negeri, Agama Gajah Mada Akhirnya Terungkap Lewat Fakta-fakta yang Disodorkan para Pakar Ini, Benarkah Beragama Islam?

By Tatik Ariyani, Selasa, 16 November 2021 | 18:42 WIB

Mahapatih Gajah Mada

Gelar raja, misalnya, sudah bisa menjadi bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha.

"Raden Wijaya bergelar Kertarajasa Djayawarddhana Anantawikramotunggadewa. Djayawardhana itu sudah jelas Hindu karena artinya keturunan Dewa Wisnu yang bertahta," jelas Agus.

Identitas agama Majapahit juga bisa dilihat dari konsep dewaraja. Setiap raja di Majapahit memiliki dewa pujaan pribadi.

Saat raja itu meninggal, dia diyakini akan bersatu dengan dewanya.

Candi yang dibuat pasca meninggalnya raja itu akan dihiasi oleh figur sang raja yang digambarkan sebagai dewa pujaannya.

Agus mengatakan, "Contoh, Tribhuanottunggadewi itu memuja Dewi Parwati, maka setelah meninggal diwujudkan sebagai dewa itu."

"Nama pejabat tinggi dalam Majapahit juga menunjukkan corak Hindu dan Buddha. Misalnya, ada Dharmmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmmadyaksa ring Kasogatan. Kasogataan artinya Kebuddhaan. Tidak ada Dharmmadyaksa ring Muslimah atau lainnya," imbuh Agus.

Bukti lain ialah penataan kota Majapahit yang memperhatikan letak gunung yang dipercaya sebagai tempat suci dan corak prasasti.

Soal surya Majapahit yang diklaim menjadi bukti keislaman kerajaan itu, Agus menuturkan bahwa delapan sinar yang ada pada lambang itu sebenarnya adalah tanda arah mata angin, di mana dalam kepercayaan Majapahit, tiap arah angin punya dewanya sendiri.

Sinar Majapahit menjadi ciri khas candi-candi peninggalan Majapahit di mana corak itu dijumpai pada batu sungkupnya.

Agama Gajah Mada sendiri dipercaya adalah Buddha.

Bukti penguatnya adalah catatan kitab Negarakertagama yang menyebut bahwa setelah pensiun, dia dianugerahi tanah Kebuddhaan yang bernama Madakarupira. Lokasi tanah itu berada di selatan Pasuruan.

Menurut Agus, untuk menafsirkan identitas agama suatu kerajaan, peringkat sumber-sumber arkeologis perlu diperhatikan.

Agus mengatakan, "Penulis (Kasultanan Majapahit) kemungkinan tidak mengerti pemeringkatan itu."