Dokumen Rahasia Bocor, Inilah Kongkalikong Antara Australia-Indonesia Sebelum Keruk Kekayaan Timor Leste, Sampai Disebut Sebagai Kejahatan Terburuk Abad-20 yang Ditutupi Dunia

Afif Khoirul M

Penulis

Presiden Soeharto awalnya ogah mencaplok Timor Leste.

Intisari-online.com - Tahun 1975 Indonesia menginvasi Timor Leste, wilayah Pasifik yang merupakan bekas jajahan Portugis.

Dalam tulisan John Pilger, Indonesia dituduh melakukan kejahatan perang, pada saat itu.

Melansir The Theologist, pembantaian sepertiga penduduk Timor Leste untuk menekan tuntutan kemerdekaan.

Setelah dokumen rahasiadigali, ditemukan ada nama Australia di belakang Indonesia.

Baca Juga: Mengaku Saksikan Kekejaman Tentara Indonesia Saat Bantai Penduduk Timor Leste, Jurnalis Ini Beberkan Saat-Saat Mencekam Sembunyikan Rekaman Kotroversial Itu dari Indonesia

Bahkan negeri Kangguru itu disebut, terus mengeruk minyak dan gas di Laut Timor, meski Timor Leste merdeka, Australia masih mengeruk minyak dan gasnya hingga 5 miliar dollar AS.

Menurut dokumen rahasia yang ditemukan diArsip Nasional Australia memberikan gambaran sekilas tentang bagaimana salah satu kejahatan terbesar abad ke-20 dieksekusi dan ditutup-tutupi.

Mereka juga membantu kita memahami bagaimana dan untuk siapa dunia ini dijalankan.

Dokumen-dokumen tersebut mengacu pada Timor Timur, sekarang dikenal sebagai Timor Leste, dan ditulis oleh para diplomat di kedutaan Australia di Jakarta.

Baca Juga: Namanya Tak Sekondang Ramos Horta dan Xanana Gusmao, Inilah Pemimpin Pertama Timor Leste yang Konon Tewas Dibunuh Indonesia, Jasadnya Konon Tak Pernah Ditemukan Hingga Saat Ini

Tanggalnya November 1976, kurang dari setahun setelah Presiden Indonesia Suharto merebut koloni Portugis di pulau Timor.

Ini disebut holocaust kedua yang menjadi tanggung jawab Suharto.

Satu dekade sebelumnya, pada tahun 1965, Suharto merebut kekuasaan di Indonesia dalam pertumpahan darah yang merenggut lebih dari satu juta nyawa.

Menurut laporan CIA,"Dalam hal jumlah yang terbunuh, pembantaian tersebut digolongkan sebagai salah satu pembunuhan massal terburuk di abad ke-20."

Koresponden BBC di Asia Tenggara, Roland Challis, kemudian menggambarkan mendia menutup-nutupi pembantaian itu.

Dengan framing pemberitaan bahwa Suharto telah 'menyelamatkan' Indonesia dari pengambilalihan komunis, yang dialamatkan pada ideologi yang berkembang di Timor Leste.

"Tentu saja sumber-sumber Inggris saya tahu apa rencana Amerika itu," kata Rolland Challis.

"Ada mayat yang terdampar di halaman konsulat Inggris di Surabaya, dan kapal perang Inggris mengawal sebuah kapal yang penuh dengan pasukan Indonesia, sehingga mereka dapat mengambil bagian dalam holocaust yang mengerikan ini," katanya.

"Baru kemudian kami mengetahui bahwa kedutaan Amerika memberi (Suharto) nama dan menandai mereka ketika mereka terbunuh," katanya.

Baca Juga: Pantas Timor Leste Ngotot Ingin Gabung Meski Terus Ditolak, Ternyata Ini Manfaat Jadi Anggota ASEAN, Buat 'Nambal' Tambang Minyaknya yang Mengering

"Ada kesepakatan, dalam pembentukan rezim Suharto, keterlibatan (AS- mendominasi) Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia adalah bagian dari kesepakatan itu," imbuhnya.

Saya telah mewawancarai banyak orang yang selamat dari tahun 1965, termasuk novelis terkenal Indonesia Pramoedya Ananta Toer.

Ia menjadi saksi epik penderitaan yang 'terlupakan' di Barat karena Suharto adalah teman dekat Barat.

Holocaust kedua di Timor Timur yang kaya sumber daya, sebuah koloni yang tidak dijaga, hampir tak terelakkan.

Pada tahun 1994,John Pilgen yangmemfilmkan secara sembunyi-sembunyi di Timor Timur, ia mengaku menemukan tanah salib dan kesedihan yang tak terlupakan.

Dalam film, Death of a Nation, ada adegan pengambilan gambar di atas pesawat Australia yang terbang di atas Laut Timor.

Sebuah pesta sedang berlangsung.

Dua pria berjas saling bersulang dalam sampanye.

"Ini adalah momen sejarah yang unik," celoteh salah satu dari mereka.

Baca Juga: Dibalut Janji-janji Muluk dan Selangit, Timor Leste Terkecoh dengan Tawaran dari Mulut Berbusa Australia untuk Keruk Lagi Kekayaan Negara Itu Sampai Tak Bersisa

"itu benar-benar, sejarah yang unik," katanya.

Ini adalah menteri luar negeri Australia, Gareth Evans.

Orang lainnya adalah Ali Alatas, corong utama Suharto.

Saat itu tahun 1989 dan mereka melakukan penerbangan simbolis untuk merayakan kesepakatan pembajakan yang mereka sebut 'perjanjian'.

Hal ini memungkinkan Australia, Suharto dan perusahaan minyak internasional untuk membagi rampasan sumber daya minyak dan gas Timor Leste.

Berkat Evans, perdana menteri Australia saat itu, Paul Keating yang menganggap Suharto sebagai figur ayah menjalankan kebijakan luar negeri Australia.

Australia membedakan dirinya sebagai satu-satunya negara barat yang secara resmi mengakui penaklukan genosida Suharto. Hadiahnya, kata Evans, adalah "miliaran" dolar.

Artikel Terkait