Penulis
Intisari - Online.com -Covid-19 sudah menunjukkan kejinakan dengan kasusnya sudah mulai bisa dikendalikan di banyak negara.
Meski begitu, jangan senang dulu.
Harapan bisa hidup seperti sebelum pandemi Covid-19 harus diperhitungkan.
Hal ini karena setelah Covid-19 tumbang, penyakit paling mematikan kedua di dunia ini justru mulai bangkit lagi.
Ialah penyakit tuberkulosis atau TB yang meningkat lagi secara mendunia, pertama kali dalam 10 tahun terakhir.
Pasien TB kini kesulitan mendapatkan bantuan kesehatan karena pasien Covid-19 juga masih dirawat di berbagai rumah sakit di dunia.
Hal ini menjadi kemunduran besar mengingat sudah bertahun-tahun lamanya TB akhirnya bisa disembuhkan.
TB disebabkan oleh bakteri yang paling sering menyerang paru-paru.
Baca Juga: Disiplin Menerapkan Prokes Jadi Kunci Hidup Berdampingan dengan Covid-19
Sama-sama menyerang paru-paru, TB pun sama seperti Covid-19 yaitu ditularkan melalui udara oleh orang yang terinfeksi, contohnya lewat batuk.
"Ini adalah berita mengkhawatirkan yang harus menjadi peringatan global akan kebutuhan mendesak atas investasi dan inovasi," kata Direktur Jenderal WHO Adhanom Ghebreyesus mengatakan dalam sebuah pernyataan.
"Untuk menutup kesenjangan dalam diagnosis, pengobatan, dan perawatan bagi jutaan orang yang terkena penyakit kuno tetapi bisa dicegah dan diobati ini," ujarnya, seperti dikutip Channel News Asia.
Pemberantasan TB memburuk di tahun 2020 akibat peningkatan jumlah kasus yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
Baca Juga: Ketua Kadin: Aplikasi PeduliLindungi Jadi Senjata Melawan Pandemi Covid-19
Saat ini ada 4,1 juta orang menderita TB, tapi belum didiagnosis, naik drastis dari 2,9 juta pada 2019 lalu.
Pandemi COVID-19 telah memperburuk situasi bagi penderita TB, karena dana kesehatan telah dialihkan untuk mengatasi virus corona dan orang-orang berjuang untuk mengakses perawatan karena penguncian.
Ada juga penurunan jumlah orang yang mencari pengobatan pencegahan TB, dari 2,8 juta orang pada 2020, turun 21% dibandingkan dengan 2019.
"Laporan ini menegaskan ketakutan kami bahwa gangguan layanan kesehatan penting karena pandemi bisa mulai mengungkap kemajuan selama bertahun-tahun melawan tuberkulosis," kata Tedros.
Sekitar 1,5 juta orang meninggal karena TB pada tahun 2020, termasuk 214.000 orang dengan positif HIV, menurut laporan WHO.
Angka itu naik dari 1,2 juta pada 2019, dengan 209.000 di antaranya positif HIV.
Peningkatan jumlah kematian akibat TB terjadi terutama di 30 negara dengan beban TB tertinggi.
Sebagian besar kasus TB hanya terjadi di 30 negara, banyak di antaranya negara miskin di Afrika dan Asia.
Baca Juga: Jelang Libur Panjang dan Hari Raya Keagamaan, dr Reisa Ingatkan Pentingnya Disiplin Prokes
Dan, lebih dari separuh kasus baru terjadi pada pria dewasa.
Wanita menyumbang 33% kasus dan anak-anak 11%.
Tujuan WHO adalah untuk mengurangi kematian akibat TB sebesar 90%, dan tingkat kejadian hingga 80% pada 2030 dibanding 2015.
"Tetapi, angka terbaru membahayakan strategi tersebut," ungkap Tedros.
Dan, pemodelannya menunjukkan jumlah orang yang mengembangkan penyakit dan meninggal karena TB bisa "jauh lebih tinggi pada 2021 dan 2022".
Laporan WHO menyatakan, jumlah orang yang baru didiagnosis dan kasus TB yang dilaporkan ke otoritas nasional turun dari 7,1 juta pada 2019 menjadi 5,8 juta di 2020.
India, Indonesia, Filipina, dan China adalah negara-negara utama yang mengalami penurunan kasus TB yang dilaporkan.
Mereka dan 12 negara lainnya menyumbang 93% dari total penurunan pemberitahuan global.
Pengeluaran global untuk diagnosis, pengobatan, dan layanan pencegahan tuberkulosis turun, dari US$ 5,8 miliar pada 2019 menjadi US$ 5,3 miliar setahun kemudian, menurut laporan WHO.
Sekitar 85% orang yang menderita TB berhasil diobati dalam waktu enam bulan dengan obat yang tepat, yang juga membantu mencegah penularan penyakit ini.