Find Us On Social Media :

Belum Dapat Izin Edar, Obat Covid-19 Molnupiravir Sudah Dilirik Indonesia, Disebut Mampu Cegah Risiko Rawat Inap dan Kematian hingga 50 Persen, Benarkah?

By Tatik Ariyani, Selasa, 5 Oktober 2021 | 16:16 WIB

Ilustrasi virus corona (Covid-19).

Intisari-Online.com - Obat antivirus molnupiravir belum selesai uji klinis, belum ada izin edar, dan belum ada di pasaran.

Namun, obat ini sudah dilirik banyak negara termasuk Indonesia.

Pasalnya, pada Jumat (1/10/2021), perusahaan farmasi Merck & Co asal AS mengumumkan bahwa obat antivirus molnupiravir buatannya ini mampu mencegah risiko rawat inap dan kematian hingga 50 persen.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya akan bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan mereview obat-obatan baru untuk Covid-19.

Baca Juga: Rahasia Covid-19 Terbongkar, Jurnalis Investigasi Terkemuka Ini Akhirnya Ungkap Asal Usul Virus Corona yang Sebenarnya, Ternyata di Lokasi Ini Virus Mematikan Itu Dibuat

Dalam telekonferensi pers di Jakarta, Senin (4/10/2021), Budi mengatakan, “Tapi juga bisa obat-obatan anti virus baru seperti yang sekarang lagi ramai didiskusikan Molnupiravir dari Merck. Jadi obatan-obatan tersebut sudah kita approach pabrikannya.”

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt, menjelaskan bahwa obat molnupiravir termasuk obat oral antivirus atau obat antivirus yang diminum.

Zullies kepada Kompas.com, Selasa (5/10/2021), mengatakan, "Molnupiravir obat antivirus yang dulunya dikembangkan oleh Emory University. Itu mereka sebetulnya mau mencari obat untuk ensefalitis virus (kondisi peradangan otak yang disebabkan virus, red)."

Baca Juga: Dokumen Rahasia Bocor, Terkuak Rencana Ilmuwan Wuhan Lepaskan Virus Corona Modifikasi Pada Kelelawar, Amerika Malah Sudah Diminta Dana Untuk Penelitian Ini

Obat yang tadinya dikembangkan untuk obat ensefalitis itu diramu lagi untuk diujikan ke virus corona SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, setelah pandemi Covid-19 menyelimuti seluruh dunia.

Pihak-pihak yang terlibat dalam pengembangan obat molnupiravi adalah Emory University, perusahaan farmasi Merck dan Ridgeback Biotherapeutics. Mulai dari awal, hingga uji klinis 1, 2, dan 3.

"Kemudian diujikan ke Sars-CoV-2 dan ada potensi secara in vitro dan in vivo," ungkap Zullies.

Dia menjelaskan, cara kerja obat molnupiravir sama seperti obat antivirus favipiravir.

"Obat ini sendiri cara kerjanya menghambat reproduksi virus. Sebenarnya kalau secara spesifik sangat mirip dengan (obat) favipiravir karena (obat) bekerjanya di satu enzim yang namanya RNA-dependent RNA polymerase," imbuhnya.

Zullies menjelaskan, Merck memang sudah melaporkan hasil uji klinis fase 3 terkait obat molnupiravir.

Namun dia berkata, sebetulnya uji klinis ini belum selesai dilakukan.

Zullies memaparkan, "Karena uji klinisnya sendiri kalau dilihat di laman clinicaltrials.gov (tempat untuk mendaftarkan uji klinik besar terkait Covid-19), itu ditulis bahwa mereka merencanakan subyek (penelitiannya) adalah 1.850 orang."

Baca Juga: Telan Kenyataan Pahit Pelabuhannya Dikuasai China 200 Tahun, Negara Tetangga Ini Syok Setelah Dokumen Rahasia Beberkan Keluarga Presiden Sibuk Menimbun Kekayaan Lewat Perusahaan Cangkang Ini

"Yang mana, dimulainya (uji klinis) pada 19 Oktober 2020 dan perkiraan selesainya 8 November 2021. Jadi sebetulnya sekarang belum selesai," imbuhnya.

Nah yang kemarin dilaporkan, kata Zullies, adalah interim result atau laporan sementara yang melibatkan 750 orang.

Ke-762 orang yang terlibat dalam uji klinik obat molnupiravir ini dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok plasebo (yang diberi obat kosong) ada 377 orang dan kelompok molnupiravir ada 385 orang.

Pada kelompok molnupiravir sendiri dibagi lagi menjadi tiga kelompok, yakni yang mendapat dosis 200 gram, 400 gram, dan 800 gram.

Namun Zullies berkata, tidak dilaporkan berapa banyak orang yang dimasukkan ke dalam tiap kelompok dosis tersebut.