Penulis
Intisari-Online.com -Di dunia ini, beberapa negara pernah memiliki sejarah gagal bayar utang atau default.
Bahkan, hal itu juga terjadi pada Amerika Serikat (AS).
Hingga kini, kondisi gagal bayar utang tersebut masih dikenang sebagai mimpi buruk.
Melansir World Finance, berikut beberapa negara yang pernah mengalami kondisi gagal bayar utang terparah dalam sejarah:
1.Yunani
Yunani mengadopsi euro pada 2001, tetapi ekonomi berada dalam kondisi yang bermasalah.
Antara 1997 dan 2007, upah untuk pegawai sektor publik naik 50 persen dan pemerintah mengeluarkan utang besar untuk mendanai Olimpiade Athena 2004, yang menelan biaya 9 miliar euro (Rp 148,9 triliun), menurut Bloomberg Businessweek.
Pada 2012, Yunani mengalami restrukturisasi utang negara terbesar dalam sejarah.
Kondisi gagal bayar utang di Yunani terjadi setelah 2 tahun mengalami kesulitan ekonomi, dipengaruhi oleh resesi global pada 2008, dan tingkat utang terhadap PDB yang tinggi.
Pada Maret 2012, kesepakatan terjadi antara Yunani dan pemegang obligasi pemerintah.
Dengan enggan, pemegang obligasi setuju untuk menukarkan obligasi lama mereka dengan obligasi yang jatuh temponya lebih lama, dan setengah dari nilai aslinya.
Kesepakatan obligasi itu memungkinkan Yunani untuk memotong bagian yang cukup besar dari utang negara 350 miliar euro (Rp 5.790 triliun), tapi itu belum membebaskannya dari kondisi gagal bayar utang.
2.Islandia
Islandia pada 2008, yang memiliki populasi sekitar 320.000 mengalami salah satu krisis keuangan terbesar dalam sejarah dunia.
Negara bagian Nordik itu gagal bayar utang lebih dari 85 miliar dollar AS (Rp 1.212 triliun) setelah tiga bank terbesarnya, yaitu Glitnir, Kaupthing, dan Landsbanki, bangkrut bergiliran karena kesulitan untuk melunasi utang jangka pendek.
Kondisi gagal bayar utang itu menyebabkan pemerintah mengundurkan diri, mengorbankan tabungan lebih dari 50.000 deposan dan ekonomi internasional menjadi tidak stabil.
Kebangkrutan Islandia telah dikaitkan dengan segala hal, mulai dari prinsip neoliberal dan bankir yang sembrono hingga regulasi sektor keuangan yang tidak memadai.
Terlepas dari itu semua, disebutkan bahwa lingkungan keuangan yang diciptakan memungkinkan bank swasta tumbuh begitu cepat dengan mengumpulkan lebih banyak utang dari pada yang bisa mereka tangani.
Alih-alih menyelamatkan bank menggunakan dana pembayar pajak, seperti yang dilakukan AS pada 1840, Islandia memilih untuk memotong kakayaan deposan.
3. Rusia
Pada 1998, Rusia dan Bank Sentral Rusia (CBR) mengalami mendevaluasi mata uang, dan gagal bayar cadangan utang besar-besaran.
Setelah 6 tahun reformasi dan berlangsung upaya stabilisasi ekonomi, CBR mencatat pertumbuhan positif Rusia sejak jatuhnya Uni Soviet.
Namun, Rusia terpaksa gagal bayar utang setelah CBR mempertahankan rubel di pasar modal, kehilangan 5 miliar dollar AS (Rp 71,3 triliun) dalam cadangan devisanya.
Disebutkan pasar saham terpaksa ditutup selama 35 menit karena saham jatuh pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di Rusia.
Efek internasional dari krisis keuangan itu kemudian dikenal sebagai "Flu Rusia", tersebar luas dan mempengaruhi pasar di AS, negara-negara Asia, Baltik serta Eropa.
Setelahnya, Bank Dunia mengungkap bahwa pinjaman senilai 5 miliar dollar AS (Rp 71,3 triliun), yang disediakan oleh Bank Dunia dan IMF, dicuri pada malam krisis keuangan Rusia.
4.Meksiko
Pada 1994, Meksiko mengalami devaluasi mata uang peso terhadap dollar AS sebesar 15 persen, sehingga mendorong negara ini masuk dalam krisis keuangan.
Devaluasi memicu pelarian investor asing yang dengan cepat menarik modal dan menjual saham, saat Bursa Efek Meksiko menukik.
Bank sentral harus membayar obligasi yang didominasi peso dengan membeli dolar AS (tesobonos) dengan mata uang yang sangat terdevaluasi, dan menghadapi kondisi gagal bayar utang negara.
Dampak dari krisis keuangan Meksiko dialami juga oleh negera tetangga, seperti Southern Cone dan Brasil, yang kemudian peristiwa itu dikenal sebagai "Efek Tequila".
Meksiko kemudian dibantu dengan dana bailout yang berasal dari IMF, Kanada, sejumlah negara Amerika Latin, dan khususnya pinjaman 50 miliar dollar AS (Rp 713,3 triliun) yang diberikan oleh Presiden AS saat itu Bill Clinton.
5. AS
Tahun 1840-an, AS baru saja pulih dari "Panic of 1837", peristiwa krisis keuangan yang dialami oleh Amerika Serikat yang memicu depresi ekonomi bertahun-tahun.
Saat itu ada 19 dari 26 negara bagian AS yang mengalami kondisi gagal bayar utang pada awal 1840-an.
Diperkirakan hal itu didorong oleh pembangunan kanal besar-besaran yang menyebabkan hutang menggunung mencapai 80 juta dollar AS (Rp 1,1 triliun), setelah lonjakan proyek infrastruktur lainnya juga, dan perlombaan meningkatkan modal untuk membuka bank baru.
Pada akhir 1840-an, sebagian besar utang telah dilunasi, meskipun faktanya tidak ada sanksi langsung yang diberlakukan kepada AS.