Intisari-Online.com - China telah membebaninegara-negara miskin dengan "utang tersembunyi" senilai 385 miliar dollar AS (Rp 5,5 Kuadriliun) atas nama doronganinfrastruktur yang ambisius.
Tingginya tingkat utang ke China tidak jarang memicu respons negatif dalam masyarakat, seperti Balochistan di Pakistan barat daya.
Di sana, penduduk setempat mengatakan mereka mendapatkan sedikit keuntungan, dan militan telah meluncurkan serangkaian serangan yang bertujuan untuk merusak investasi China.
"Apa yang kami lihat sekarang dengan the Belt and Road Initiative (BRI) adalah pembeli menyesal," kataDirektur Eksekutif AidData Brad Parks.
Menurutnya, banyak pemimpin asing yang awalnya ingin ikut-ikutan BRI, sekarang menangguhkan atau membatalkan proyek infrastruktur China, karena masalah keberlanjutan utang.
Menurut penelitiandari laboratorium penelitian pembangunan internasional AidData melansir AFP, Rabu (28/9/2021), proyek China itu lebih dari sepertiganya dilanda kasus korupsi.
Studi itu menyorot kesepakatan yang tidak jelas dengan bank-bank negara dan perusahaan-perusahaan di bawah dorongan investasi utama Presiden Xi Jinping, dalam The Belt and Road Initiative (BRI).
Kesepakatan itu disebut telah membuat lusinan pemerintah berpenghasilan rendah terikat dengan utang yang tidak ada di neraca mereka.
China menginvestasikan lebih dari 843 miliar dollar AS (Rp 12 kuadriliun) untuk membangun jalan, jembatan, pelabuhan, dan rumah sakit.
Dana itu disebar di sekitar 163 negara, sejak program itu diumumkan pada 2013, termasuk banyak negara di Afrika dan Asia Tengah.
“Hampir 70 persen dari uang telah dipinjamkan ke bank-bank negara atau usaha patungan antara bisnis China dan mitra lokal di negara-negara yang sudah sangat berhutang budi kepada Beijing,” kata Parks kepada AFP.
Menurutnya, banyak pemerintah negara miskin tidak dapat mengambil pinjaman lagi.
China pun menjadi kreatif. Masalahnya, pinjaman diberikan kepada "konstelasi aktor selain pemerintah pusat", tetapi sering didukung oleh jaminan pemerintah untuk membayar jika pihak lain tidak bisa.
"Kontraknya keruh, dan pemerintah sendiri tidak tahu persis nilai moneter yang mereka harus bayar ke China," katanya.
Hutang yang tidak dilaporkan ini bernilai sekitar 385 miliar dollar AS, menurut studi tersebut.
AidData, yang berbasis di College of William and Mary di Virginia, melihat 45 negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang sekarang memiliki tingkat eksposur utang ke China lebih tinggi dari 10 persen dari produk domestik bruto nasional mereka.
Akibat kemarahan publik, peminjaman Beijing melambat selama dua tahun terakhir karena penolakan dari peminjam, menurut studi tersebut.
Negara-negara kaya G7 juga mengumumkan skema saingan untuk melawan dominasi Beijing dalam pinjaman global tahun ini.
AidData menemukan pinjaman Beijing menuntut suku bunga yang lebih tinggi dengan periode pembayaran yang lebih pendek.
(*)