Penulis
Intisari-Online.com - Pemakaman Santa Cruz di Dili, Ibu Kota Timor Leste, merupakan salah satu landmark yang dimiliki negara ini.
Selain merupakan ibu kota Timor Leste, Dili juga merupakan kota terbesarnya.
Kota tersebut adalah pusat perdagangan negara ini, hingga pelabuhan utamanya.
Ada patung kristus setinggi 88 kaki yang dikenal sebagai Patung Cristo Rei, Museum Perlawanan, juga dua pasar paling populer di Dili.
Sama-sama landmark Timor Leste, salah satu yang membedakan Pemakaman Santa Cruz adalah di tempat ini pernah terjadi peristiwa berdarah di akhir pemerintahan Indonesia.
Seperti banyak diketahui, Timor Leste pernah menjadi bagian dari wilayah Indonesia dengan nama Timor Timur dari tahun 1976 hingga 1999.
Namun, wilayah ini memisahkan diri melalui referendum yang diselenggarakan pada 30 Agustus 1999.
Tragedi berdarah di Pemakaman Santa Cruz terjadi hanya beberapa tahun sebelum wilayah ini lepas dari Indonesia.
Bahkan, tragedi berdarah di pemakaman Santa Cruz disebut merupakan peristiwa yang mengubah sejarah kemerdekaan Timor Leste.
Peristiwa yang terjadi pada Minggu 12 November 1991, semakin mendekatkan Timor Leste pada kemerdekaan.
Dengan terjadinya peristiwa ini, dunia tidak bisa lagi menutup mata atas apa yang terjadi di Bumi Lorosae.
Tapi bagaimana pun, tragedi Santra Cruz merupakan salah satu bagian kelam dalam sejarah Timor Leste.
Melansir Tribun Pontianak dalam artikel berjudul 'Peluru Masih Bersarangdi Pinggang' (13/12/2013), sebuah catatan perjalanan wartawan Tribun Pontianak, Stefanus Akim, mengisahkan betapa mencekamnya peristiwa Santa Cruz.
Peristiwa ini dipicu oleh penembakan terhadap seorang pemuda bernama Sebastiao Gomes.
Rakyat Timor Leste melakukan aksi berjalan ke pemakaman Santa Cruz pada 12 November 1991, tempat pemuda yang tergabung dalam kelompok pejuang kemerdekaan Timor itu dimakamkan.
Saat itu, tentara Indonesia berjaga di sudut-sudut jalan dengan senjata siaga.
Dikisahkan, suasana pemakaman Santa Cruz berubah mencekam dan menjadi pertumpahan darah.
Aksi demo itu berujung rusuh ketika tiba-tiba datang rentetan tembakan. Pendemo di bagian belakang roboh, yang lain bubar, lari tunggang-langgang.
Dalam peristiwa itu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste memperkirakan sedikitnya 271 orang tewas.
Pembantaian ini disaksikan dua jurnalis Amerika Serikat, Amy Goodman dan Allan Nairn. Juga Max Stahl, Wartawan asal Inggris, yang berhasil merekam peristiwa berdarah itu dan menjadi satu-satunya bukti video yang ada.
Rekaman itu membawa titik balik dalam sejarah Timor Lorosa'e, mengingatkan dunia akan kekejaman yang terjadi di sana.
Sehingga akhirnya Timor Leste mendapatkan dukungan internasional yang luas untuk perjuangan rakyat Timor; dan sampai pada penentuan nasib sendiri dengan dilaksanakan referendum.
Kisah bukti video yang direkam Stahl sendiri menjadi salah satu cerita legendaris dari tragedi Santa Cruz 1991.
Stahl sempat ditangkap, tetapi sebelumnya berhasil mengubur dua gulungan film di kuburan tersebut.
Terpaksa Melepaskan Tembakan
Panglima ABRI Jenderal TNI Try Sutrisno saat itu menegaskan, ABRI terpaksa melepaskan tembakan terhadap massa dalam insiden di Dili 12 November, sebagai upaya membela diri.
"Bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada peleton yang dilucuti massa, dan senjatanya dibawa lari.
"Bagaimana memperolehnya kembali? Bukankah korban yang jatuh akan lebih banyak?" kata Sutrisno, dikutip Kompas.com dariHarian Kompas, 28 November 1991.
Dilaporkan, saat itu di kuburan Santa Cruz ada sekitar 2 ribu massa yang berkumpul.
Untuk mencegah bergabungnya massa yang datang dari Gereja Motael dan massa di kuburan St Cruz, dikerahkan dua peleton dari Yonif 303 dan satu peleton dari Yonif 744, serta satu peleton Brimob anti huru-hara.
Namun kemudian terjadi proses penggabungan massa. Sebagian dari massa yang ada di kuburan bergerak ke luar, bergabung dengan massa yang berada di luar serta melakukan gerakan agresif dan menyerang aparat.
Pada saat itu, terdengar letusan tembakan dari arah kuburan dan suara teriakan "serbu, rebut senjata."
Satuan pengamanan melepaskan tembakan peringatan ke atas, tetapi massa tidak memperdulikan tembakan peringatan tersebut, malahan menjadi lebih beringas.
Massa terus mendesak dengan senjata tajam di tangannya, dan melemparkan sebuah granat ke arah satuan pengamanan.
Melihat adanya lemparan granat dan massa masih tetap menyerbu, maka prajurit terdepan sebagai prajurit profesional, secara otomatis melepaskan tembakan terarah sebagai upaya untuk membela diri.
Untuk merespons insiden itu, Presiden Soeharto saat itu membentuk Komisi Penyelidik Nasional (KPN) di bawah pimpinan Hakim Agung M Djaelani.
Tragedi Santa Cruz tersebut banyak mendapat sorotan dari media asing. Mereka menganggap bahwa pemerintah Indonesia banyak terkesan menutup-nutupi insiden itu.
(*)