Tinggal Menunggu Waktu Pertarungan Dua Negara Adidaya di Indo-Pasifik, Indonesia yang Diincar Sebagai 'Hadiah Terbesar Asia' Malah Dikatakan Pakar Ini Tidak Siap Hadapi yang Menunggu di Depan

May N

Penulis

Presiden Joko Widodo dan Presiden China Xi Jinping di KTT G20 pada Jumat (28/6/2019) malam.

Intisari-online.com -Indonesia bisa meningkatkan keseimbangan strategis di Indo-Pasifik.

Hal tersebut disampaikan oleh Evan A Laksmana, peneliti senior di Centre of Asia and Globalisation di Lee Kuan Yew School of Public Policy Universitas Nasional Singapura, yang menulis di Foreign Policy.

Pasalnya, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan berada di posisi strategis antara Samudra Hindia dan Pasifik, Indonesia malah terkesan tidak siap menghadapi apa yang akan terjadi.

Ekonomi Indonesia yang tumbuh, tradisi kepemimpinan regional dan kontrol atas garis pantai tampaknya sangat penting dalam urusan persaingan AS-China.

Baca Juga: Bubarkan Perang Afghanistan dan Suruh Semua Pasukan untuk Pulang, Terkuak untuk Rencana Mengerikan di Indo-Pasifik Inilah Biden Memerlukan Pasukannya

Mengajak Jakarta bekerja sama dengan antara China atau AS tampaknya langkah logis dalam menyelesaikan drama geopolitik.

Setiap langkah Indonesia, mulai dari latihan militer sampai diplomasi vaksin, tampak lewat lensa ini.

Bergantung dengan siapa yang Anda tanya di Beijing atau Washington, pilihan Indonesia tampaknya jelas.

Salah satu menawarkan pertumbuhan dan kesejahteraan, walaupun merundung wilayah.

Baca Juga: Niatnya Tak Mau Ikut Campur danMain Aman Urusan Laut China Selatan, Setelah Jepang Kini Militer Indonesia Bersekutu dengan Inggris,Sepakat Lakukan Hal Ini

Sedangkan yang satunya menawarkan jaringan global hubungan keamanan meskipun komitmennya sering meragukan, tidak konsisten atau ada maunya.

Lantas mengapa Indonesia tidak akan memilih salah satunya? Salah satu alasannya adalah karena ketidakpercayaan yang sudah mendalam.

Indonesia tidak percaya satu kekuatan besar bisa superior baik secara ekonomi, militer atau moral.

Lagipula, sepanjang sejarah strategi Indonesia, setiap kekuatan besar telah membuat kepentingan Indonesia tersingkirkan, kalah dengan kepentingan pihak asing.

Baca Juga: Sejarawan Militer Sebut Ketegangan AS-China Berpotensi Menjadi Perang Nuklir dan Menyeret Negara Lain Melintasi Indo-Pasifik

Dengan pengalaman itu, Indonesia mengembangkan pandangan aturan regional terpusat pada mempertahankan stabilitas dan legitimasi di rumah, mencari otonomi strategis dan menyangkal hegemoni kekuatan besar di wilayah tersebut.

Tujuan-tujuan ini menjadikan kebijakan luar negeri Indonesia cenderung negatif, karena Indonesia punya daftar apa yang tidak mereka inginkan.

Walaupun strategi menghindari ini sudah menguntungkan Jakarta dulunya, kini sudah tidak cocok lagi dengan iklim Indo-Pasifik.

Pemerintah Indonesia telah lama menghindari terlibat dengan kekuatan besar yang dapat mengecilkan legitimasi lokal.

Baca Juga: Ancaman Militer China Kian Nyata, Rencana Serangan Militer China ke Taiwan Ini Justru Membuat Australia Ketar-ketir, Kok Bisa?

Konstitusi lokal, bukan kepentingan geopolitik yang meluas, sering menentukan mana kekuatan besar yang lebih penting.

Ketika ketegangan lokal membutuhkan dukungan TNI, pemerintah meminta bantuan negara adidaya yang menyediakan peralatan militer canggih atau latihan, biasanya AS.

Lain halnya ketika pemerintah mencari legitimasi ikatan ekonomi, perusahaan biasanya akan mendorong pemerintah untuk mencari dukungan di China.

Indonesia juga tidak ingin terlibat dengan negara adidaya untuk membatasi keinginan dan bagaimana Indonesia mempertahankan kepentingannya.

Baca Juga: Blingsatan Indonesia Punya Ladang Minyak yang Kaya Raya, China Tiba-tiba Datang dan Persulit Pengeboran Lepas Pantai Indonesia di Natuna, Ternyata Negara Ini yang Diincar China

Jika AS mencoba untuk mengajak Indonesia melawan China di Laut Natuna Utara, seperti yang sudah dilakukan berulang kali, beberapa pembuat kebijakan mungkin melihatnya sebagai cara mengontrol strategi otonomi Jakarta, bahkan jika mereka secara diam-diam setuju Beijing membuat keributan di wilayah tersebut.

Dalam mode reaktif murni, mereka akan mencari cara mempertahankan otonomi strategis dengan mengeluarkan mantra bahwa Indonesia tidak ingin memilih.

Indonesia tidak ingin terlibat lebih jauh dengan konflik geopolitik tapi ingin lebih unggul di wilayahnya dan menjadi pimpinan regional, hal ini terlihat dari gagasan pembentukan ASEAN yang kemudian menjadi alat yang berguna bagi Jakarta.

Membentuk ASEAN bertujuan Indonesia bisa memastikan ada perdamaian regional yang mana Indonesia bisa fokus dalam stabilitas lokal.

Baca Juga: Seharusnya Bisa Dipanen Tapi Makin Mundur Karena Pandemi Covid-19, Inilah Tiga Ladang Gas Raksasa RI yang Kini Nasibnya Makin Tidak Jelas, Termasuk Natuna

ASEAN juga menjadi alat Indonesia menolak hegemoni dunia masuk ke wilayah Asia Tenggara selama Perang Dingin.

Kini ASEAN juga jadi alat yang sama bagi Jakarta menghindari terlalu terlibat dalam persaingan hegemoni, tapi nyatanya praktik menghindar ini tidak bisa terus dilakukan.

Lebih-lebih ASEAN kini malah menghadapi banyak masalah mulai dari Myanmar dan Laut China Selatan.

Evan menyarankan Indonesia mulai belajar dari negara kekuatan menengah seperti Australia, India, Jepang dan Korea Selatan.

Baca Juga: Tiga di Antaranya Merupakan Negara Paling Beragam di Dunia, Inilah Sumber Daya yang Menjadi Keunggulan Tiap Negara ASEAN

Jika Indonesia sudah condong ke salah satu pihak, ASEAN pun akan lebih cepat menyelesaikan masalahnya.

Namun masalahnya di tengah Covid-19, ketergantungan Indonesia pada China jauh lebih besar daripada ke AS.

Artikel Terkait