Penulis
Intisari-Online.com –Dunia pewayangan kembali berduka, atas kehilangan satu lagi dalang kondang yang terkenal dengan jargon 'Pancen Oye' ini.
Sekitar pukul 09.45 WIB pada hari Jumat (2/7/2021), seperti melansir dari kompas.com, dalang kondang Ki Manteb Soedharsono meninggal dunia.
Beliau meninggal di kediamannya di Karanganyar, Jawa Tengah.
Ade Irawan, keponakan Ki Manteb, membenarkan kabar meninggalnya dalang kondang tersebut.
"Bapak sakit dirawat di rumah. Diinfus di rumah, dioksigen di rumah. Terus tadi pukul 09.45 WIB meninggal," kata Ade saat dihubungi wartawan, Jumat.
Menurut Ade, yang juga Sekretaris Desa Doplang mengatakan, bahwa Ki Manteb memiliki riwayat sakit paru-paru.
Ki Manteb sempat berangkat ke Jakarta untuk menghadiri pentas, sebelum sakit itu.
Ketika berangkat ke Jakarta, Ki Manteb menggunakan mobil pribadi, dengan perjalanan darat, dan hanya ditemani oleh istri, anak, serta sopirnya.
Sepulang dari Jakarta, Ki Manteb masih mengadakan pentas wayang secara live streaming di rumah pada Minggu (27/6/2021).
"Kemarin pulang dari Jakarta terus pentas wayang live streaming di rumah. Karena kecapekan di rumah panggil dokter terus diinfus. Bapak sakitnya mulai Senin," ungkap Ade.
Aksi wayang ‘jumpalitan’
Kalau Anda pernah, atau bahkan sering, menyaksikan pementasan wayang yang dimainkan oleh Ki Manteb Soedharsono, maka Anda akan melihat salah satu ciri khas penampilan wayangnya.
Salah satu ciri khas penampilan Ki Manteb adalah penampilan wayangnya yang bisa jumpalitan di udara.
Dari mana Ki Manteb memperoleh ide seperti itu?
Melansir dari tulisan Ide Wayang Salto dari Film Silat, pada Tabloid NOVA No. 503/X, Ki Manteb menceritakan bahwa dia tidak memiliki warisan jimat khusus dari orangtua agar menjadi dalang kondang dan laris.
Satu-satunya warisan yang diberikan almarhum kakeknya adalah buku Murwokolo, yang berisi rincian tata cara upacara adat Jawa yang sampai sekarang masih sering dilakukan.
Menurut Ki Manteb, bukan jimat yang membuat seorang dalam jadi laris, tetapi justru diperlukan penguasaan materi dan panggung, ditambah ketahanan fisik dan mental.
Dengan menguasai materi, maka dalang bisa mempengaruhi dan menyampaikan pesan-pesannya pada penonton.
Penguasaan materi saja belum cukup, karena ketahanan fisik dan mental seorang dalang haruslah prima.
Bayangkan saja, semalam suntuk seorang dalang menggelar lakon.
Sebagai manusia, tentu saja Ki Manteb juga merasakan haus, lapar, ngantuk, pegal, linu, dan bisa juga kakinya kesemutan atau ingin buang air, belum lagi bibir yang mesti ngoceh terus.
Nah, kalau kesehatan tidak prima, siapa yang bisa tahan?
Maka, untuk menjadi dalang yang betul-betul mumpuni, menurut Kit Manteb, seseorang haruslah melewati proses belajar dan tempaan yang lama.
Sedang laris atau tidaknya, Ki Manteb percaya bahwa itu sudah digariskan oleh Gusti Allah.
Ki Manteb juga merasa bersyukur, semenjang mendalang di usia 10 tahun dengan bayaran pertama Rp15, hingga setua sekarang dengan bayaran jutaan rupiah, jarang sekali sakit.
Ketahanan fisiknya sudah teruji sejak kecil.
Baca Juga: Mengapa Drupadi Punya Lima Suami Pandawa? Ini Kisah Sebenarnya Menurut Tradisi India
Selain dari pentas wayang, Ki Manteb juga mendapatkan penghasilan dari rekaman kaset wayang yang tak terhitung jumlahnya, bahkan menciptakan tembang-tembang campursari.
Ki Manteb juga merasa bahwa rezeki yang diberikan Allah ada sebagian hak orang lain, maka dia pun tak pernah pelit untuk membagi rezeki kepada orang yang membutuhkannya.
Ceritanya, pernah suatu hari didatangi penjahat, yang entah dari mana datangnya, tetapi berterus terang ia lapar dan butuh uang.
Ki Manteb pun memberinya uang secukupnya dan menyuruhnya pergi jauh.
Tidak seluruh permainan wayang yang dimainkan oleh Ki Manteb berjalan mulus, karena suatu kali pernah ia berbuat kesalahan saat mendalang, yang dikarenakan ia kecapekan dan mengantuk.
Kekeliruan yang dilakukannya saat adegan goro-goro, yang seharusnya memunculkan Janaka tetapi malah ia memainkan Semar.
Ki Manteb baru sadar ketika dilempar pakai pemukul gamelan oleh rekan niyaga (penabuh gamelan).
Sebagai dalang, prinsip Ki Manteb tidak anti pada berbagai pembaruan dalam seni pendalangan, apalagi zaman terus berkembang, yang penting jangan sampai mengubah pakem.
Contohnya saja, pemakaian lampu listrik sebagai pengganti blencong atau lampu minyak tanah untuk menerangi layar.
Baca Juga: Ketika Dunia Semata Wayang Fauzie Helmy Manggung dalam Fotografi di Tengah Goro-goro
Meski ada yang berpendapat kalau pakai nyala blencong, seolah-olah wayangnya bisa bergerak-gerak, melayang, dan nampak indah.
Ya, tentu saja, karena api blencong, bila tertiup angin akan bergerak-gerak, sementara kalau pakai listrik, ya sinarnya tetap begitu saja.
Sementara dalam hal musik, Ki Manteb juga tidak menutup kemungkinan pemakaian alat musik selain gamelan.
Misalnya, memasukkan suara biola dan keyboard, yang biasanya dimanfaatkan untuk menghasilkan efek suara khusus, seperti suara gemuruh badai, atau suara kuda berlari.
Pada intinya semua itu hanya mendukung pakeliran, tetapi pakem pagelaran secara keseluruhan tetap utuh.
Sayangnya, kini banyak dalang yang dengan tujuan menarik penonton kaum muda, lantas mencampur pertunjukan wayang dengan pertunjukan musik dangdut, dengan penari yang menggunakan rok mini.
Menurut Ki Manteb, seni pedalangan yang diiringi musik dangdut adalah tidak selaras, karena suasananya menjadi tidak nyambung.
Hal demikian menurutnya merupakan kemerosotan penghargaan kita kepada kesenian wayang kulit.
Menurutnya, pertunjukan wayang ya harus tampil mandiri, bukan dicampur-campur dengan pertunjukan lain, kalau mau selingan, ya cukup dengan tembang-tembang campursari seperti yang sering dilakukannya.
Baca Juga: Bertahan di Tengah Pagebluk, Para Seniman Wayang Orang Berteman dengan Teknologi
Ciri khas saat mendalang yang sangat dibanggakan oleh Ki Manteb adalah gerakan salto wayang yang diperolehnya lewat pencarian di tahun 1978.
Inspirasi ini diperoleh Ki Manteb dari cerita silat yang banyak digemari orang dan kebetulan pula ia sangat menggemari film silat.
Namun, tentu saja, tidak semua tokoh wayang bisa bebas ‘jumpalitan’, ada batasannya, hanya tokoh tertentu saja yang pantas bersalto-ria, karena tidak mungkin tokoh Bima ‘jumpalitan’.
Rupanya, ciri khasnya itu banyak ditiru oleh dalang lain, bahkan nyaris 99 persen dalang meniru Ki Manteb.
Ki Manteb tidak merasa keberatan dengan ditirunya gaya salto itu, karena ia juga meniru kakek dan ayahnya, juga para dalang seperti Gondo Darman, Gondo Buwono, atau Warsino, yang kesemuanya merupakan gurunya.
Gaya salto wayang Ki Manteb sempat dikritik beberapa penggemar wayangnya yang fanatik, bahkan ia disebut dalang pengumbar sadisme dan tidak berjiwa Pancasila.
Padahal, masih banyak orang yang tega melakukan hal-hal yang tidak Pancasilais.
Wayang menjadi cermin kehidupan manusia, jadi jangan kaget kalau dalam wayang ada cerita tokoh yang korupsi.
Kritik-kritik sosial sering diselipkan dalam setiap pertunjukan wayang Ki Manteb, agar siapa pun yang menonton bisa melakukan introspeksi.
Bahan kritikan itu didapat Ki Manteb dari membaca, jangan sampai dalang tidak mengikuti perkembangan informasi agar tidak ketinggalan zaman.
Menurutnya, seni pedalangan bisa dijadikan alat menyampaikan pesan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak.
Dan, pesan itu akan lebih efektif tersampaikan kalau si dalang mampu memuaskan penontonnya.
Itu berarti, penonton harus dipikat terlebih dahulu dengan pertunjukan yang bagus, barulah menyampaikan pesan, itu pun harus nyambung ke penonton.
Dalang harus membaca situasi dan kondisi, serta paham betul penontonnya dari kelas mana. (ktw)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari