Penulis
Intisari-Online.com - Isi Perjanjian Renville ditandatangani Indonesia sebagai bagian dari upaya menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda yang terjadi sejak tahun 1945.
Sejak Indonesia baru memproklamasikan diri, Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia dan tidak mengakui deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Berbagai upaya melalui jalur diplomasi dilakukan untuk menyelesaikan konflik sengketa kedaulatan tersebut, perundingan renville salah satunya.
Namun, setelah perjanjian ini ditandatangani, justru muncul gerakan pemberontakan di Jawa Barat, yang kemudian kita kenal sebagai pemberontakan Darul Islam Indonesia/Tentara Nasional Indonesia (DI/TII).
Pemberontakan yang dipimpin oleh Kartosuwiryo ini kemudian terjadi selama belasan tahun setelah isi Perjanjian Renville ditandatangani.
DI/TII memakan cukup waktu untuk ditumpas juga karena muncul pendukung DI/TII di berbagai daerah, bukan hanya di Indonesia saja.
Kartosuwiryo dan pengikutinya akhirnya ditangkap pada tahun 1962, meski DI/TII di berbagai daerah masih terus bergerak setidaknya hingga tahun 1965.
Seperti apa isi Perjanjian Renville yang ditandatangani Indonesia hingga memicu pemberontakan pimpinan Kartosuwiryo tersebut?
Berikut ini Isi perjanjian Renville:
1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
2. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS.
3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
4. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
5. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut Garis Van Mook.
6. Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerak kekuasaan Belanda (Jawa Barat dan Jawa Timur).
7. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.
8. Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
9. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.
Isi perjanjian Renville antara Indonesia dan Belanda tersebut ditandatangani pada 19 Januari 1948.
Perundingan untuk mencapai kesepakatan dalam Perjanjian Renville berlangsung cukup lama.
Perundingan yang dilakukan di atas geladak kapal perang AS USS Renville ini telah dimulai sejak 8 Desember 1947, setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama.
Amir Syarifudin merupakan sosok yang mewakili Indonsia dalam perundingan tersebut.
Selain itu, hadir pula R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (orang Indonesia pro Belanda) dan Frank Graham (perwakilan Komisi Tiga Negara atau KTN.
Salah satu isi Perjanjian Renville adalah ditariknya Tentara Indonesia dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Hal itu tidak bisa diterima Kartosuwiryo dan pengikutnya, dan menganggap perjanjian tersebut tidak melindungi warga Jawa Barat.
Itu menambah parah kekecewaan mereka, yang sudah menyimpan ketidakpuasan atas kemerdekaan Indonesia yang dibayang-bayangi Belanda.
Pemberontakan DI TII pun pecah usai Perjanjian Renville ditandatangani. Tujuan dari pemberontakan ini yaitu untuk mendirikan Negara Islam (NII).
Mereka mendeklarasikan kemerdekaan NII pada , pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampang, distrik Cisayong, Jawa Barat melalui maklumat pemerintah No II/7.
Dalam maklumat disebutkan bahwa 17 Agustus 1945 adalah akhir masa kehidupan Indonesia.
Kartosoewirjo memantapkan keputusannya untuk mengklaim seluruh wilayah Indonesia sebagai kekuasaan dari NII.
Ide Kartosuwiryo tersebut kemudian diikuti oleh daerah-daerah lainnya, membuat pergerakan DI/TII semakin meluas di Indonesia.
Pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo berlangsung hingga belasan tahun, bahkan setelah dicapai pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Perjanjian KMB.
Baru pada 4 Juni 1962 Kartosuwiryo ditangkap. Dan tanggal 16 Agustus tahun yang sama, Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper).
Selanjutnya pada 4 September 1962, sekitar pukul 05:50 WIB, hukuman mati terhadap Kartosoewirjo dilaksanakan.
(*)