Penulis
Intisari-online.com -Pemimpin Korea Utara Kim Jong-Un telah memperingatkan habisnya pangan dan terulangnya "arduous march" (pawai yang sulit), bencana kelaparan seperempat abad yang lalu.
Dunia tentu masih ingat tentang korban dari kelaparan pada tahun 1990-an itu; kematian massal dan kesulitan.
Meski begitu tragedi itu tidak mengejutkan, karena Korea Utara sudah sering mengalami bencana kelaparan sampai sering penduduknya mati kelaparan.
Bencana kelaparan di dunia ini bukanlah sesuatu yang baru, jauh sebelum Kekaisaran Romawi berkuasa, kelaparan sudah terjadi di berbagai belahan dunia.
Ada kelaparan Uni Soviet, dengan jutaan kematian di Ukraina, Kaukasus Utara, dan tempat lainnya, mengutip The National Interest.
Kejadian itu terjadi berpuluh-puluh tahun sebelum media luar negeri membantu menyembunyikan karya pembunuhan Joseph Stalin.
Republik Rakyat China menderita melalui Lompatan Besar ke Depan, yang mana 10 juta warga mati kelaparan.
Ratusan ribu warga di Kamboja, yang dulu masih bernama Kampuchea, mati kelaparan setelah kemenangan Khmer Merah.
Semua tragedi ini tidaklah kecelakaan semata, tapi merupakan sebuah karya pemerintah yang berupaya merekayasa sosial lewat cara apapun.
Contohnya, Lompatan Besar ke Depan telah disebut "bencana buatan manusia terbesar dalam sejarah."
Ada berbagai tingkat pengetahuan dan niat, dan Mao Zedong bersalah atas kejahatan tidak tanggung jawab, kebutaan ideologi dan keabaian yang tidak terkalahkan lebih besar daripada upaya pembunuhan.
Namun konsekuensinya sama, korban jiwa yang sangat banyak dan kehancuran sosial.
Penyebab dan konsekuensi kelaparan mirip dengan yang terjadi di Republik Demokratik Korea Utara.
Ratusan ribu atau mungkin jutaan warga telah meninggal dunia.
Dijelaskan oleh Wilson Center: "Kelaparan Korea Utara sebagian besar disebabkan oleh sistem ekonomi Stalinis negara itu, bukan karena banjir seperti klaim pemerintah.
"Hanya Korea Utara dan Kuba, dua negara yang meniru sistem pertanian gaya Stalin, di mana tidak ada insentif untuk memproduksi makanan," ujar mantan administrator AID AS, Andrew Natsios.
"Produksi pangan menjadi mundur selama kelaparan. Tambahan lagi Rusia dan China telah menghentikan mengirim suplai pangan besar-besaran beserta minyak ke Korea Utara setelah berakhirnya Perang Dingin."
Pyongyang kemudian membuat kesalahan kebijakan yang memperburuk masalah ini.
Korea Utara pada akhirnya pulih lagi, meskipun malnutrisi tetap menjadi masalah biasa di beberapa tempat dan negara itu kadang-kadang menderita kekurangan pangan.
Namun, pandemi Covid-19, dan respon Korea Utara, mengisolasi negara dari dunia, justru meningkatkan kerentanan mereka.
Dampaknya, Pyongyang memberi sanksi kepada negara mereka sendiri, menghapus perdagangan legal dan ilegal, termasuk perdagangan signifikan dengan China.
April lalu Kim Jong-Un mengatakan kepada Partai Buruh Korea: "Aku memutuskan meminta organisasi PBK di semua tingkat, termasuk Komite Pusat dan sekretaris sel dari seluruh partai guna melakukan 'arduous march' yang lebih sulit untuk membebaskan rakyat kita dari kesulitan, meski hanya sedikit."
Kemudian minggu lalu ia meyakinkan Komite Pusat PBK dan mengumumkan "situasi pangan rakyat kini semakin sulit dengan sektor pertanian gagal mengisi produksi gandum."
Alamiahnya ia menyalahkan cuaca buruk dan mengatakan: "Penting bagi seluruh pihak dan semua warga berkonsentrasi pada pertanian."
Sayangnya, sulit untuk menilai kegawatan kekurangan stok makanan.
Korea Utara makin terisolasi daripada biasanya, dengan kelompok kemanusiaan telah mengurangi operasi di negara itu dan banyak diplomat kembali ke negara masing-masing.
Tetap saja, dari yang bisa dilihat di sana tidak ada bukti yang sekarang terjadi mendekati situasi tahun 1990-an itu.
Namun, harga nasi, bahan pokok dan juga produk pangan impor yang dijual lokal di masa sebelum pandemi telah meningkat.
Ada juga kekhawatiran lain.
Wartawan Choe Sang-hun dari New York Times: "Beberapa keluarga telah mulai menjual perabot untuk mendapat uang membeli makanan, seperti kabar dari Jiro Ishimaru dari Asia Press International."
Jumlah anak terlantar mengais-ngais makanan juga meningkat di beberapa bagian negara, meski sulit untuk mengecek situasi tersebut, mengingat isolasi Korea Utara, ujarnya."