Kemajuan menuju pemerintahan sendiri dan transisi demokrasi semakin terhambat oleh perpecahan dalam gerakan.
Selain itu juga terjadi korupsi oleh para pemimpin lokal Papua di tingkat kabupaten dan pemerintah provinsi.
Tak hanya itu, budaya impunitas dan pelanggaran hak asasi manusia yang berkelanjutan oleh polisi dan militer Indonesia serta campuran kebijakan yang membingungkan dan kontradiktif yang membuat Jakarta membagi wilayah tersebut menjadi dua wilayah administratif yang terpisah juga terjadi.
Gerakan non-kekerasan untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan terus berlanjut, tetapi persaingan dan faksionalisme di antara organisasi-organisasi perlawanan telah berkurang sehingga tidak berhasil.
Namun, ada tanda-tanda persatuan yang muncul.
Pada bulan Oktober 2010, dua koalisi sebelumnya yang bersaing, Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (terdiri dari sekitar 20 kelompok perlawanan) dan Konsensus Papua (yang terdiri dari Otoritas Nasional Papua Barat, PDP, dan DAP) membentuk kantor untuk Bangsa Papua (Sekretariat Bangsa Papua atau SeBaPa) untuk memfasilitasi komunikasi dan koordinasi yang lebih baik antara kedua koalisi.
Rekonsiliasi kedua koalisi difasilitasi oleh karya Pastor Neles Tebay, seorang imam Katolik, dan jurnalis yang telah membentuk Jaringan Damai Papua (JDP).
Terlepas dari perbedaan yang tersisa di antara banyak kelompok, mereka tampak bersatu untuk menolak Otonomi Khusus (dikenal di Barat Papua sebagai Otsus).