Penulis
Intisari-online.com -Presiden Joko Widodo (Jokowi) digugat oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB).
Gugatan ini selain diberikan kepada Jokowi juga kepada DPR.
Akar permasalahannya adalah Jokowi dan DPR tidak melibatkan Orang Asli Papua (OAP) dalam pembahasan revisi UU Otonomi Khusus (Otsus).
MRP sendiri mengutip Wikipedia adalah lembaga pemerintahan daerah otonomi khusus di Papua, Indonesia.
MRP dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi provinsi Papua.
Fungsi mereka menjadi perwakilan kultural Orang Asli Papua (OAP) dengan wewenang tertentu melindungi hak OAP berlandaskan penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.
Tak hanya gugat Presiden dan DPR, MRP dan MRPB juga menggugat ke Mahkamah Konstitusi terkait perubahan kedua UU Nomor 21 Tahun 2001.
Perubahan atau revisi yang terjadi adalah pada dua pasal, Pasal 34 terkait Dana Otsus dan Pasal 76 tentang Pemekaran.
"Teman-teman tadi ada banyak usulan terkait perkembangan yang terjadi, menuntut (revisi) tidak hanya dua pasal saja," ujar Komarudin Watubun, ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi UU No 21 Tahun 2001 dikutip dari Antara.
Dalam raker itu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan pokok revisi UU Otsus Papua hanya ada di dua pasal: Pasal 34 dan Pasal 76.
Tito mengatakan Dana Otsus terkait Pasal 34, akan dilanjutkan dan besarannya ditambah dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
"Namun perlu diatur lebih rinci terkait tata kelola dana tersebut. Lalu terkait Pasal 76 mengenai Pemekaran, memberikan ruang kepada pemerintah pusat dengan mendengarkan aspirasi dari otoritas di Papua, seperti MRP, DPRP, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan semua stakeholder. Karena memang ada permasalahan dan aspirasi untuk pemekaran di Papua," ujarnya.
Komarudin menilai Kemendagri seharusnya menyampaikan pandangan mereka terkait hal tersebut.
Ia bertanya apakah yang diinginkan Pemerintah hanya merevisi dua pasal tersebut atau dapat membuka ruang.
"Apakah hanya dua pasal (Pasal 34 dan Pasal 76) ini harga mati atau kita buka ruang," ujarnya.
Revisi UU Otsus menurutnya harus mempercepat tujuan otsus: kesejahteraan.
Ia juga menyampaikannya guna menaggapi absennya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly.
Keduanya sebelumnya diundang dalam rapat yang diadakan pada Kamis 17/6/2021.
"Beberapa kali kita undang menteri terkait. Ada yang mewakilkan kepada Sekjen, ada yang mewakilkan juga kepada Dirjen lagi. Jadi saya sempat menyampaikan ini juga kepada istana supaya ada keseriusan. Keseriusan dari kementerian untuk membahas masalah Papua," kata Komarudin saat membuka rapat, Kamis (17/6/2021).
Komarudin menyebut masalah Otsus Papua adalah masalah serius.
Itu sebabnya ia meminta pemerintah juga serius menangani persoalan di Papua.
Ia juga menyebut dan meminta Presiden Joko Widodo secara khusus serius menangani persoalan Papua lewat pembahasan Otsus Papua.
"Menurut saya ini masalah serius. Oleh karena itu, Bapak Presiden juga serius. Nah, tetapi hari ini, teman-teman Pansus semua, ketidakhadiran Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM juga ada alasan," jelasnya.
Menkeu mengirimkan surat yang menyebut alasan tidak dapat hadir, yaitu karena juga tengah mengikuti judicial review di Mahkamah Konstitusi membahas tentang UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.
Sedangkan Menkumham tidak dapat hadir karena mewakili Presiden melaksanakan sidang pengujian formal UU Cipta Kerja di MK.
"Sehubungan dengan hal tersebut, kami menugaskan Wakil Menteri Hukum dan HAM untuk menghadiri rapat yang dimaksud," ujar Komarudin membacakan surat Menkumham.
RUU Otsus Papua sudah disahkan DPR guna masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 Selasa (23/2/2021).
Otsus sudah akan berhenti tahun 2021 dan sebelum dilanjutkan perlu beberapa perubahan menurut pemerintah.