Selanjutnya, perjanjian itu menempatkan Indonesia di bawah Otoritas Eksekutif Sementara PBB hingga referendum yang memungkinkan semua orang dewasa Papua Barat untuk memutuskan nasib kemerdekaan mereka.
Referendum Papua Barat atau yang juga dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera itu dilaksanakan pada 14 Juli–2 Agustus 1969.
Namun sebelum itu, pada tahun 1967, pemerintah Indonesia telah menandatangani kontrak 30 tahun dengan perusahaan pertambangan emas dan tembaga AS Freeport-McMoran untuk memulai penambangan di wilayah yang kaya sumber daya.
Selain itu, dua tahun kemudian, menurut para sejarawan, sejumlah orang dipilih sendiri untuk memilih di bawah pengawasan militer Indonesia dan memilih dengan suara bulat untuk tetap berada di bawah kekuasaan Indonesia.
Tuduhan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pun disasarkan kepada Indonesia.
Indonesia dan perwakilannya di PBB sejak itu berulang kali menolak klaim pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
Tuduhan itu juga disebut telah disebarkan oleh "gerakan separatis Papua".
“Provinsi Papua dan Papua Barat … akan selalu menjadi bagian dari Indonesia yang bersatu,” kata diplomat Indonesia Ainan Nuran kepada dewan keamanan PBB pada 2017.