Advertorial
Intisari-online.com - Belakangan kondisi keuangan PT Garuda Indonesia menjadi sorotan, karena besarnya utang yang diperkirakan akan terus membengkak.
Ditambah lagi maskapai plat merah itu keuangannya semakin terpuruk, pasca-pandemi Covid-19 melanda.
Utang perseroan pun menumpuk, hingga mencapai Rp70 triliun, bahkan diprediksi akan terus bertambah hingga Rp1 triliun setiap bulannya.
Berbagai upaya dilakukan untuk menyehatkan kembali keuangan maskapai miliki negara tersebut.
Menurut menteri BUMN Erick Thohir, mengatakan industri penerbangan dalam negeri memang tengah tercekik.
Itu tercermin dari kapasitas bandara yang rata-rata kini hanya terisi 15 persen penumpang, dan paling tinggi hanya 32 persen.
Kondisi itu tentu berdampak cukup buruk bagi maskapai Garuda Indonesia.
"Terkait hal itu, kita enggak boleh menutup diri atau berdiam diri, kita harus melakukan terobosan, perbaikan, dan tidak mungkin didiamkan," ujar Erick Thohir dalam konferensi Pers di Kementerian BUMN, Rabu, (2/6/21).
Ia mengatakan, pemerintah saat ini tengah mengkaji 4 opsi atau tahap upaya penyehatan keuangan Garuda Indonesia.
Beberapa opsi antara lain, pemerintah mendukung dengan memberikan suntikan ekuitas ke perseroan.
Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi kewajiban Garua Indonesia, mencakup utang sewa, dan kontrak kerja.
Ketiga merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru berfokus pada penerbangan domestik.
Keempat, Garuda Indonesia dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan, maka pemerintah akan mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan.
Misalnya dengan memberikan pajak bandara atu subsidi rute yang lebih rendah.
Sementara itu,Kementerian BUMN juga menjelaskan penyebab utama mengapa Garuda Indonesia bisa terlilit utang hingga Rp70 triliun.
Menurutnya keuangan Garuda Indonesia babak belur akibat kesepakatan harga pesawat dari perusahaan lessor.
Menurut Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Garuda Indonesia juga menyewa pesawat terlalu banyak, namun tidak diimbangi dengan okupansi penumpang yang mencukupi.
"Memang jenis pesawat yang di sewa di masa lalu itu terlalu banyak dan kemahalan, ini tentunya penyakit masa lalu Garuda, di mana cost structure-nya (struktur biaya) melebihi dari maskapai sejenis," ungkap Kartika.
Mantan Ditut Bank Mandiri itu, mengatakan solusi dari BUMN adalah meminta Garuda Indonesia menegosiasikan ulang perjanjian sewa pesawat dengan perusahaan lessor.
"Dengan kondisi Covid-19 pendapatan (Garuda Indonesia) menurun, dan kondisi ini sudah berjalan setahun lebih, sebab itu memang selama ini dilakukan penundaan pembayaran, jadi sebenarnya kalau kami mau jujur, dari dulu sudah banyak yang enggak dibayar kewajibannya," katanya.
Beberapa waktu belakangan, kondisi keuangan Garuda Indonesia makin memburuk, lantaran lessor Garuda ditunda pembayarannya sampai penarikan pesawat.
Sehingga tak aneh jika sempat beredar di media sosial perubahan call sign di pesawat Garuda Indonesia dari PK (Indonesia) menjadi VQ (Bermuda).
Kartika mengungkapkan, saat ini banyak pesawat Garuda yang grounded oleh para lessor dan tidak bisa lagi dipakai.
Sehingga maskapai plat merah itu, hanya bisa beroperasi dengan jumlah pesawat minimum.