Penulis
Intisari-online.com -Koalisi pemerintah Israel baru yang dibuat oleh Naftali Bennett, mantan sekutu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diklaim berpandangan politik netral dan mengajak para politisi sayap kanan dan sayap kiri di Israel.
Sejak dibukanya koalisi baru tersebut, rupanya ada partai Palestina yang bergabung dengan Naftali Bennett.
Ialah partai United Arab List (UAL), partai Palestina pertama yang bergabung dengan koalisi bentukan Naftali Bennett.
Melansir Al Jazeera, Mansour Abbas, pemimpin UAL 'mengesampingkan perbedaannya dengan Bennett' untuk membentuk koalisi 8 partai dari seluruh spektrum politik yang bertujuan mengakhiri 12 tahun pemerintahan Netanyahu.
Abbas yang juga bekerja sebagai pimpinan Pergerakan Islam di Israel cabang selatan, mengatakan aksinya akan membantu memperbaiki kehidupan warga Palestina di Israel.
Warga Palestina di Israel sendiri ada 20% dari kira-kira 9 juta warganya.
Tindakannya ini langsung mendapat kritikan dari warga Palestina.
Kesepakatan koalisi tersebut datang setelah pemilu pada 23 Maret yang partai Likud pimpinan Netanyahu menjadi partai terbesar di parlemen Israel, Knesset, tapi jatuh bebas setelah gagal memenangkan 61 kursi yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan.
Pemungutan suara itu menjadi pemungutan suara keempat Israel hanya dalam 4 tahun saja.
Bennett kemudian memutuskan bergabung dengan partai Yesh Apid pimpinan Lapid untuk hindari adanya pemilu lain.
Partai Yesh Atid menjadi partai terbesar kedua dengan 17 kursi dari 120 kursi Knesset, sedangkan partai Bennett hanya dapat 6 kursi saja.
Kemudian UAL pisah dari koalisi partai Palestina di Israel yaitu Joint Arab List sebelum pemilu Maret.
Abbas memutuskan menjadi independen, dan menyiapkan diri bekerja dengan Netanyahu serta partai sayap kanan lain untuk meningkatkan kondisi kehidupan warga Palestina di Israel.
Pisahnya koalisi Palestina ini melemahkan perwakilan partai Palestina di Knesset yang memegang 15 kursi, kemudian UAL dengan 4 kursi bergabung dengan koalisi Bennett dan Lapid untuk menggulingkan Netanyahu.
Dikatakan juga mereka telah mengamankan kesepakatan kucuran dana 16 miliar USD untuk memperbaiki infrastruktur dan tempat perang di kota-kota yang dihuni warga Palestina di Israel.
UAL juga umumkan mereka telah menjamin pemerintah baru akan menghentikan peruntuhan rumah-rumah Palestina yang dibangun tanpa izin di Israel dan akan secara resmi mengakui kota Bedouin di gurun Negev, benteng bagi partai Abbas.
"Kami memutuskan bergabung dengan pemerintah untuk mengubah keseimbangan politik di negara ini," ujar Abbas.
Namun analis politik dan pengacara dari Palestina Diana Buttu mengatakan Abbas telah "membuat kesalahan besar berpikir ia bisa menjadi raja Israel".
"Ide bahwa entah bagaimana Abbas bisa mendapat dukungan untuk bahkan mengenalkan pemerintahan yang akan melawan pemerintah rasis yang dihadapi Palestina adalah lelucon," ujar Buttu.
"Ia membantu koalisi itu dengan menyatukannya, padahal bukan peran kita menjadi raja. Kita posisinya adalah dalam oposisi melawan sistem ini. Tujuan kita adalah melindungi komunitas kita," tambahnya.
Buttu juga mengatakan Abbas dan partainya "tidak akan mendapatkan apa-apa" sebagai bagian kecil dari koalisi raksasa.
"Itu hanya akan menjadi lelucon, bisa ditertawakan, sangat polos dan tunjukkan ketidakpahaman mendasar yang ia miliki mengenai politik Israel dan Zionisme."
Jafar Farah, direktur Mossawa Center yang mengadvokasi warga Palestina di Israel mengatakan ada potensi beberapa keuntungan sosial dan ekonomi yang bisa diraih oleh komunitas Palestina terkait perumahan dan kejahatan.
“Tapi sekali lagi, pemerintah Netanyahu bersedia memberikan komunitas Arab sebagian dari tuntutan ini. Jadi bukan hal baru,” ujarnya.
Sayangnya menurutnya fakta bahwa Abbas lebih fokus kepada hal-hal tersebut daripada menghentikan kependudukan Israel dan penindasan sistematis menunjukkan jika "pemimpin Palestina kurang visi".
Ia juga mewanti-wanti jika pemerintahan gabungan ini hanya akan menjadi pemerintahan transisi menuju pemerintahan sayap kanan yang bisa lebih kejam dari Netanyahu sendiri.
"Dan saat itu, tidak akan ada proses damai atau rekonsiliasi antara Palestina dan Yahudi," ujarnya. "Dan tidak ada perubahan serius mengenai status hukum komunitas Palestina."
Tidak heran peringatan ini muncul.
Naftali Bennett sudah dikenal luas sebagai sosok yang mendukung pencaplokan Tepi Barat.
Ia bahkan tidak setuju dengan solusi dua negara sementara Netanyahu masih setuju dengan solusi dua negara untuk membentuk negara Palestina bersamaan dengan membentuk negara Israel.
Ia dulunya menjadi kepala organisasi kependudukan dan pemukim Israel di rumah-rumah Palestina.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini