Penulis
Intisari-Online.com - Rombongan Muslim Madinah yang dipimpin Rasulullah dihalangi Kaum Quraisy ketika ingin memasuki Mekah, menjadi latar belakang disepakatinya isi Perjanjian Hudaibiyah.
Saat itu, enam tahun setelah Hijrah, yaitu pada tahun 628 Masehi, Nabi Muhammad Saw, mengajak pengikutnya mengunjungi Mekah untuk melakukan umrah.
Rasulullah mengutarakan rencana itu usai bermimpi bahwa ia dan para pengikutnya memasuki Mekah dan melakukan tawaf.
Maka, lebih dari 1.400 Muslim mengenakan ihram bersama Rasulullah dari Madinah menuju Mekah.
Baca Juga: Isi Perjanjian Postdam Disepakati 3 Tokoh Negara Ini, Demi Pastikan Jerman Tak Mampu Lagi Berperang
Mereka juga membawa 70 unta untuk dikorbankan.
Saat itu, sesuai dengan praktik yang ditetapkan, orang Mekah terikat untuk mengizinkan peziarah datang, tetapi tanpa senjata, untuk melakukan umrah.
Namun, saat rombongan Muslim dari Madinah datang ke sana, para pemimpin Quraisy memutuskan untuk tidak mengizinkan mereka. Ini disebabkan kekhawatiran mereka dengan kehadiran Muslim yang besar.
Para pemimpin Quraisy pun mengirim Khaled Bin Walid dengan 200 pejuang untuk menghentikan rombongan Rasulullah, menentang tradisi Arab yang telah berusia berabad-abad.
Kemudian Rasulullah mengubah rute Taneem untuk menghindari konfrontasi dan datang ke tempat yang kurang dikenal bernama Hudaibiyah di tepi barat kota.
Namun, dengan tekadnya menghalangi rombongan Muslim dari Madinah dan tidak mengizinkan mereka memasuki Mekah, Kaum Quraisy mengirim Urwah bin Masud untuk bernegosiasi dengan Nabi.
Ketika itu, utusan Mekah tersebut justru terkesan dengan apa yang disaksikannya, adegan cinta Nabi di antara para pengikutnya.
“Saya telah mengunjungi istana kerajaan Persia, Romawi dan Ethiopia, tetapi saya belum pernah melihat rasa hormat dan penghargaan tinggi seperti yang dimiliki para pengikut Muhammad untuk dia," katanya.
Ia pun berkata, "Mereka datang hanya untuk beribadah. Biarkan mereka memasuki kota suci.”
Sayangnya, para pemimpin Mekah bertekad untuk tetap mencegah kaum Muslim.
Sehingga Rasulullah pun kemudian mengirim Utsman bin Affan yang memiliki kontak baik di Mekah, tetapi kaum Quraisy justru menahannya dan menyebarkan desas-desus untuk membuat marah umat Islam bahwa Utsman telah terbunuh.
Meskipun saat itu rombongan Muslim Madinah berada 400 km jauhnya dari kota asalnya, ditambah tidak memiliki senjata yang tepat untuk berperang, tetapi Rasulullah tetap bersiap menghadapi situasi seperti perang.
Ia pun memanggil pengikutnya untuk bersiap berperang sampai mati, sementara orang-orang bergegas untuk mengambil sumpah setia.
Berita tentang keberanian Kaum Muslim Madinah untuk menghadapi tantangan pun mencapai Mekah dalam waktu singkat.
Berita itu mengatakan bahwa 1400 sukarelawan siap berperang sampai mati.
Akhirnya, hal itu pun mematahkan moral mereka dan membuat orang-orang Mekah setuju untuk membahas syarat-syarat perdamaian dan mengirim Sohayl bin Amr Al-Thaqafi, sementara Utsman dibebaskan.
Dari peristiwa itulah hadir Perjanjian Hudaibiyah. Adapun isi Perjanjian Hudaibiyah yaitu sebagai berikut:
1. Akan ada gencatan senjata antara kedua pihak dan tidak ada pertempuran selama 10 tahun ke depan.2. Setiap orang atau suku yang ingin bergabung dengan Muhammad dan membuat perjanjian dengannya bebas untuk melakukannya. Demikian juga setiap orang atau suku yang ingin bergabung dengan Quraisy dan membuat kesepakatan dengan mereka bebas untuk melakukannya.3. Jika ada orang Mekah yang pergi ke Madinah, maka Muslim akan mengembalikannya ke Mekah, tetapi jika ada Muslim dari Madinah yang pergi ke Mekah, dia tidak akan dikembalikan.4. Jika ada pemuda, atau orang yang ayahnya masih hidup, pergi kepada Muhammad tanpa izin dari ayah atau walinya, akan dikembalikan kepada ayah atau walinya. Tetapi jika ada orang Quraisy yang pergi ke Makkah, tidak akan dikembalikan.5. Tahun ini umat Islam akan kembali tanpa memasuki Makkah. Tapi tahun depan Muhammad dan pengikutnya bisa memasuki Makkah, menghabiskan tiga hari dan melakukan umrah.
Menyepakati isi Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah menunjukkan kesabarannya yang luar biasa.
Rupanya, itu adalah kesepakatan yang bertentangan dengan keinginan kaum Muslim.
Memang Perjanjian Hudaibiyah memberikan keuntungan.
Keuntungan pertama dari Perjanjian itu adalah bahwa kepemimpinan Mekah yang bermusuhan mengakui Nabi Muhammad (saw) sebagai pemimpin negara Madinah.
Kedua, Traktat tersebut mengakhiri perilaku permusuhan kaum Quraisy terhadap umat Islam. Mereka diizinkan untuk bergerak bebas dan berbicara secara terbuka tentang Islam.
Ketiga, umat Islam sama-sama diperbolehkan beraliansi dengan suku lain.
Keempat, 10 tahun gencatan senjata dengan Quraisy memberikan kesempatan unik untuk menyebarkan Islam dan menghadapi saingan mereka di bagian lain semenanjung.
Namun, selain keuntungan itu, ada pula sisi menjengkelkan dari isi Perjanjian Hudaibiyah bagi Kaum Muslim Madinah. Terutama klausul nomor 3 dan 5.
Tetapi, Rasulullah menyederhanakannya dengan mengatakan bahwa jika, "Seorang Muslim melarikan diri dari kami ke Mekah, kami tidak membutuhkannya dan jika seorang Muslim Mekah datang kepada kami di Madinah, kami akan mengembalikannya dan dia akan mengajarkan Islam di sana."
Semetara mengenai pelaksanaan umrah tahun ini, umat Islam menerima jaminan tertulis untuk melaksanakannya tahun depan dengan damai.
Rasulullah bertekad untuk menghindari pertumpahan darah di kota suci dan dia berhasil sepenuhnya dalam hal itu.
Perjanjian itu dipuji sebagai mahakarya kebijaksanaan dan pandangannya yang jauh.
Rupanya, itu benar-benar kemenangan besar Nabi Muhammad Saw, karena setelah gencatan senjata damai di Hudaibiyah, Islam berkembang pesat.
Orang-orang akhirnya menyadari kemenangan Islam. Ribuan orang masuk Islam.
Tahun berikutnya ketika Nabi suci kembali untuk melakukan umrah, ada 2.000 peziarah bersamanya, bukan 1.400 seperti sebelumnya.
Perjanjian Hudaibiyah pun terbukti menjadi awal dari Penaklukan Makkah.
(*)