Termasuk Transplantasikan Orang-orang Fanatik ke Tanah Palestina, Inilah Daftar Kebejatan Israel yang Bikin Konflik Israel-Palestina Bisa Kembali Meletus dalam Waktu Dekat

Tatik Ariyani

Penulis

Intisari-Online.com -Sebelas hari konfrontasi Palestina/Israel telah menyebabkan banyak korban jiwa dan kehancuran.

Setidaknya 232 warga Palestina, termasuk 65 anak-anak, terbunuh akibat serangan udara Israel di Jalur Gaza.

Teknologi tercanggih Amerika yang digunakan Israel meninggalkan jejak kehancuran di bawah blokade Israel di Palestina selama bertahun-tahun dengan sedikit harapan untuk masa depan.

Untuk menimbulkan rasa sakit yang lebih besar, Israel menargetkan menara perumahan di Kota Gaza, gubuk-gubuk di kamp-kamp pengungsi, klinik pengujian virus corona, dan memutus aliran listrik serta menghentikan instalasi pengolahan air.

Baca Juga: ‘Kami Melawan Organisasi Teroris Terus Berlanjut’ Inilah Benjamin Netanyahu, Veteran Prajurit Israel Anti-Terorisme, Tapi Tersangkut Kasus Pidana?

Untuk menyembunyikan tingkat kekejaman mereka, jet Israel meratakan menara untuk satu-satunya pusat media independen yang menghubungkan jalur yang dikepung itu ke dunia luar.

Di pihak Israel, dan menurut pernyataan resmi, kelompok perlawanan Palestina menembakkan sekitar 4.300 roket.

Iron Dome milik Israel, yang dibiayai oleh pajak Amerika, mencegat 90 persen roket dan militer Israel membiarkan beberapa roket jatuh ke ruang terbuka.

Gejolak terbaru meletus menyusul serangan Israel terhadap jamaah di masjid Al-Aqsa, dan ancaman untuk mengusir warga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem Timur.

Baca Juga: Dituduh Sering Membantu Musuh-musuh Israel hingga Pasok Senjata ke Hamas,Ternyata Korea Utara dan Israel Terlibat Perang Rahasia,Bukti-bukti Ini Jadi Alasannya

Agresi Israel yang terbaru memuncak selama bertahun-tahun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan pendukungnya, Donald Trump mengabaikan hukum internasional secara terang-terangan.

Menurut organisasi Israel, Peace Now dan B'Tselem, sejak penandatanganan Kesepakatan Oslo pada 1993, populasi Yahudi di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, telah tumbuh sebesar 250 persen, dari sekitar 250.000 menjadi 620.000.

Padahal, memindahkan orang-orang Yahudi ke tanah Palestina yang diduduki bertentangan dengan Oslo II tahun 1995.

Di mana Pasal XXXI, klausa 8 menyerukan “Kedua pihak memandang Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai satu unit teritorial, integritas dan statusnya akan dipertahankan selama periode sementara."

Pada tahun 2001, Netanyahu membual di video tentang niatnya untuk mengambil pendekatan yang berbeda terhadap pemahaman Israel Palestina.

Saat itu, Netanyahu menyatakan “Saya akan menafsirkan Kesepakatan sedemikian rupa sehingga memungkinkan saya untuk mengakhiri derap langkah ini ke '67 perbatasan'."

Ketika ditanya bagaimana dia bermaksud untuk mengatasi masalah AS, yang seharusnya mensponsori perjanjian perdamaian, Netanyahu membual tentang kehebatannya, dengan menyatakan, "Amerika adalah hal yang dapat Anda gerakkan dengan sangat mudah."

Netanyahu dan para pemimpin Israel lainnya, sampai sekarang, mengambil langkah-langkah yang diperhitungkan untuk menghapus kewajiban inti Israel dalam Kesepakatan Oslo.

Baca Juga: Warganya Gembar-gembor Siap Bantu KKB Papua Lawan Indonesia, Papua Nugini Malah Jadi Bulan-bulanan 'Kekonyolan' Facebook Setelah Foto Bersejarah Mereka Dihapus

Ketidakpedulian Israel terhadap perjanjian yang ditandatangani, didukung oleh keengganan pemerintah Amerika untuk menghormati perannya untuk "tidak memihak", dan diamnya kekuatan dunia.

Hal itu hanya memperkuat penindasan Israel terhadap orang-orang Palestina.

Lebih dari seperempat abad kemudian, pemerintahan sayap kanan Israel yang berhasil telah memecah "integritas dan status" dari wilayah Palestina menjadi daerah-daerah terpencil.

Daerah-daerah itu dihubungkan oleh pos pemeriksaan Israel "hanya Palestina", dikelilingi oleh pos-pos "khusus Yahudi", dan menutup Yerusalem Timur dari Tepi Barat dekat tembok koloni ilegal yang luas.

Dengan melanggar klausul terkait dari Kesepakatan Oslo, para pemimpin Israel merusak lanskap Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dengan mentransplantasikan orang-orang fanatik ke dalam pemukiman yang ditunjuk "hanya untuk Yahudi" untuk mengurangi hasil negosiasi selama "periode sementara".

Sementara itu di Gaza, Israel melakukan blokade ketat dengan dalih menghentikan senjata memasuki daerah enklave (kantong).

Langkah-langkah yang dijelaskan oleh penasihat pemerintah Israel Dov Weisglass pada tahun 2006, "untuk membuat orang-orang Palestina melakukan diet, tetapi tidak membuat mereka mati kelaparan."

Bentrokan-bentrokan terakhir telah menunjukkan bahwa walaupun sudah pasti bahwa lebih dari empat belas tahun "diet" yang ditentukan Israel telah meningkatkan penderitaan penduduk sipil, namun hal itu tidak mengamankan Israel atau melemahkan kecerdikan orang-orang yang menentang agresi.

Baca Juga: Disebut 'Mirip' dengan Pancasila, Inilah Rukun Negara Ideologi Malaysia, Lahir dari Peristiwa Rasial Mencekam di Negeri Jiran Tewaskan 700 Orang

Presiden Joe Biden menjanjikan untuk membangun kembali Gaza.

Namun, jika Amerika Serikat terus mengabaikan akar permasalahan yang sebenarnya, genjatan senjata yang terjadi saat ini hanya akan berlangsung sementara dan setiap saat bisa meletus lagi.

Hal itu diungkapkan olehJamal Kanjdalam artikel berjudul 'Gaza Must Prepare for Israel’s Next War'yang tayang di National Interest, Senin (31/5/2021).

Agar gencatan senjata bertahan, pertanyaan-pertanyaan dasar ini harus dijawab: akankah pemerintah Israel mematuhi perjanjian damai yang ditandatangani? Akankah gencatan senjata mengakhiri blokade terhadap dua juta orang di Gaza? Apakah akan menghentikan pembangunan ilegal dari koloni "hanya Yahudi" di tanah Palestina yang diduduki? Akankah itu mengakhiri penghinaan harian terhadap orang-orang asli Palestina di pos pemeriksaan Israel "hanya Palestina"? Apakah akan mengizinkan keluarga Palestina untuk kembali ke rumah mereka di Sheikh Jarrah?

Jika tak segera ditangani, ketika percikan baru muncul, itu akan berarti perang yang lebih besar lagi.

Membangun kembali Gaza, tak akan berarti apa-apa selain menjadi target baru untuk perang Israel berikutnya.

Pemerintahan Biden tidak dapat terus memaafkan hak Israel untuk membela diri sementara sistem apartheidnya melakukan perang agresi tanpa henti terhadap lebih dari lima juta manusia.

Itu adalah pendudukan dan penjajah yang melakukan perlawanan sebagai alasan untuk pertahanan diri tidak bisa dibenarkan.

Ini bukan opini, melainkan hak hukum menurut hukum internasional.

Artikel Terkait