Penulis
Intisari-online.com -Hari ini 1 Juni 2021 masyarakat Indonesia memperingati hari bersejarah penting lahirnya Pancasila.
Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan juga ideologi bangsa yang diturunkan dari nilai-nilai luhur budaya dan rasa persatuan Indonesia yang khas.
Tidak heran jika masing-masing negara memiliki dasar negara sendiri-sendiri yang berbeda-beda.
Tidak dipungkiri juga Pancasila merupakan ideologi yang khas dan sudah sangat cocok dengan kehidupan bernegara Indonesia.
Namun siapa sangka negara tetangga, Malaysia, mengklaim jika banyak kemiripan antara Pancasila dengan ideologi bangsa mereka.
Tentu saja hal tersebut membuat sentimen Indonesia terhadap Malaysia kembali hadir.
Sudah sering Malaysia mengklaim beberapa kebudayaan asli Indonesia menjadi milik mereka.
Namun ternyata untuk ideologi ini tidak ada klaim demikian.
Seperti dimaksudkan oleh Presiden Majlis Bekas Wakil Rakyat Malaysia (Mubarak) Tan Sri Abdul Aziz Rahman yang datang ke Indonesia di tahun 2018 lalu, ia bermaksud bertukar ide dan pengalaman mengenai ideologi bangsa Malaysia dan Indonesia.
"Untuk kita bertukar ide dan pengalaman beliau sebagai tim yang kuat di sini, untuk saya gunakan sebagai landasan membentuk institusi rukun negara di Malaysia," kata Abdul Aziz di Kantor UKP-PIP, kompleks Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (26/2/2018).
Menurutnya ideologi bangsa Indonesia dan Malaysia memiliki kesamaan yaitu pentingnya hidup rukun seluruh masyarakat.
"Rukun negara agak serupa ya, sila kelima di sini (Indonesia) dengan rukun lima di Malaysia, titik-titik persamaannya serupa," ucap Abdul Aziz.
Baca Juga: Apa yang Dimaksud dengan Pancasila sebagai Sistem Etika? Yuk Simak Berikut Ini
Lantas apakah memang ideologi Malaysia mirip dengan Pancasila?
Ideologi Malaysia bernama Rukun Negara, dibentuk pada 31 Agustus 1970 atau 25 tahun setelah Indonesia merdeka.
Pembentukannya rupanya dilatarbelakangi sebuah kejadian tragis yang disebut Insiden 13 Mei 1969.
Insiden ini disebut menghancurkan persatuan dan ketentraman negara Malaysia.
Baca Juga: Pancasila Sebagai Dasar Negara pada Masa Awal Kemerdekaan, Apa Maknanya?
Mengutip Kompas.com, Insiden 13 Mei 1969 adalah sebuah kerusuhan bernuansa sangat rasis.
Kerusuhan terjadi ketika kelompok berasal dari ras Melayu bersitegang dengan kelompok Tionghoa di Kuala Lumpur, Malaysia.
Kedua kelompok saling serang dengan menggunakan senjata tajam, parang bahkan pistol.
Banyak korban berjatuhan dan Kuala Lumpur pun rusak.
Baca Juga: Pancasila sebagai Sistem Filsafat Berarti Refleksi Kritis dan Rasional
Peristiwa ini menghasilkan efek berantai setelah terdengar di telinga internasional, dengan kelompok Tionghoa di Singapura membalas kelompok Melayu di Singapura.
Akibatnya pemilu diadakan kembali dan mengurangi jumlah kursi dari Tionghoa.
Awal masalah adalah dimulai tahun 1965, Singapura memisahkan diri dari Malaysia setelah ada kerusuhan rasial sampai tewaskan hampir 50 orang.
Kemudian Malaysia mengadakan pemilihan umum pada tahun 1969, menghasilkan hasil yang sangat timpang dengan suara dominan dimenangkan oleh partai oposisi keturunan Tionghoa, Democratic Action Party, sedangkan partai koalisi pemerintah United Malays National Organization (UMNO) kalah terus-terusan sepanjang perjalanan pemilu yang diikutinya.
Ketimpangan itu dirasakan juga oleh kelompok bangsa Melayu karena keturunan Tionghoa yang merupakan pengusaha menguasai hampir seluruh roda perekonomian Malaysia.
Bangsa Melayu sudah merasa tidak bisa menguasai dan mengendalikan sektor bisnis dan juga politik secara penuh.
Kemudian partai Tionghoa mengadakan perayaan besar-besaran, dan ingin mengadakan pawai lewati Kuala Lumpur, setelah berbicara kepada polisi setempat, mereka diperbolehkan.
Rencana pawai terwujud pada 10 Mei 1969, ribuan orang keturunan China berbondong-bondong datangi jalanan Kuala Lumpur, berparade di wilayah-wilayah yang didominasi orang Melayu.
Baca Juga: Desak Warga Melayu Lebih Berkerja Keras, Mahathir: Mereka Mayoritas, tapi Mereka Lemah
Orang Melayu kehabisan kesabaran dan menganggap itu semua pelecehan karena banyak warga China membawa sapu dalam parade tersebut yang dianggap mereka akan menyapu dominasi orang Melayu di Malaysia.
Anggota Pemuda UMNO segera mengadakan parade tandingan, dengan berkumpul di rumah Menteri Besar Selangor di Jalan Raja Muda Abdul Aziz di Kampung Baru, Kuala Lumpur.
Dato' Harun Idris selaku Menteri Besar Selangor mencoba menenangkan tapi tidak berhasil, akhirnya 13 Mei 1969 rombongan tandingan berparade yang justru menimbulkan kerusuhan.
Kerusuhan memburuk hingga terjadilah pembunuhan kepada orang Tionghoa yang mereka lewati saat parade, parade pun berubah menjadi penjarahan dan pembakaran setiap toko milik orang Tionghoa.
Baca Juga: Rumah Sakit Husada, RS untuk Kaum Miskin Hasil Saweran Warga Tionghoa
Pemerintah langsung menurunkan perintah darurat, militer dikerahkan, tapi banyak anggapan Komandan Militer adalah seorang keturunan Tionghoa.
Warga Melayu melakukan perlawanan, akhirnya pemerintah mengganti militer dengan resimen yang baru, dan diberlakukanlah Undang-undang Darurat, Parlemen dibekukan.
Namun kekacauan masih berlanjut, rumah, toko, kendaraan-kendaraan dibakar, banyak orang terbunuh dan terluka.
Angka resmi menyebutkan jumlah korban jiwa kurang dari 200 orang, sedangkan kenyataan di lapangan mencatat korban mencapai angka 700 orang.
Baca Juga: Jejak Sang Filantrop, 'Tidak Ada Orang Sedermawan Pak Ang Kang Hoo'
6000 orang kehilangan tempat tinggal, 211 kendaraan dan 753 bangunan rusak atau hancur terbakar.
Gara-gara insiden ini, Perdana Menteri pertama Malaysia Tunku Abdul Razak mengundurkan diri, digantikan Tun Abdul Razak.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini