Tersangkut di Pohon Selama Seminggu Hingga Wajah Menghitam karena Darah Turun, Inilah Kisah Penerjung Payung dalam Operasi Trikora, Selamat Setelah Minum Air Bekas Kubangan Hewan Ini

K. Tatik Wardayati

Penulis

Pasukan RI dalam Operasi Trikora

Intisari-Online.com – Banyak kisah perjuangan yang sering kita dengarkan, termasuk kisah heroik dari para penduduk yang tidak pernah disangka-sangka.

Seperti ini kisah heroik orang Wandamen, sebutan untuk orang asli Telukwondama.

Di balik sejarah panjang kemerdekaan Indonesia, orang Wandamen ini menyelamatkan nyawa anggota TNI dalam Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari kekuasaan Belanda pada tahun 1961.

Ketika itu Mei 1961, pasukan TNI yang tergabung dalam Komando Mandala untuk Pembebasan Irian Barat melakukan operasi terjung payung.

Baca Juga: Insting Tajamnya Endus Ketulisan Perjuangan Pemberontak Terbesar di Tanah Papua, Mertua SBY Berhasil Bujuk Legenda KKB Kembali ke Pangkuan Pertiwi, 'Mereka Saudara Kita'

Operasi terjun payung tersebut dilakukan untuk melumpuhkan kekuasaan Belanda di Papua.

Kaimana menjadi salah satu sasaran yang dituju para peterjun payung.

Sayangnya, penerjunan para peterjun payung dari udara yang kemungkinan besar dilakukan pada malam hari itu tidak berjalan dengan mulus.

Dikatakan sejumlah tentara tidak dapat mendarat pada titik yang telah ditentukan.

Baca Juga: Tepat Hari Ini Kopaska Berulang Tahun, Inilah Kisah Kopaska, Pasukan Khusus Angkatan Laut yang Selalu Bawa Kondom Ketika Jalankan Misi, Ternyata Inilah Fungsinya

Sebagian dari mereka ‘nyasar’ dan jatuh di kawasan hutan di sekitar Kampung Urere, pedalaman Distrik Naikere, Kabupaten Teluk Wondama.

Entah apa yang menyebabkan mereka ‘nyasar’ itu.

Seorang prajurit muda berpangkat kopral yang merupakan salah satu anggota pasukan, yaitu Margono, ditemukan dalam kondisi hidup.

Margono berhasil diselamatkan oleh awarga sekitar, salah satunya adalah Benediktus Mbari, warga Kampung Webi, Distrik Rasiei.

Pria yang kini berusia 74 tahun itu adalah yang pertama kali menerima informasi dari warga lokal Urere tentang penemuan Kopral Margono.

Ketika itu Mbari masih berusia 17 tahun dan menjadi anggota Hansip Desa Tandia (sekarang Tandia sudah dimekarkan menjadi tiga kampung).

Dia mengisahkan ketika Operasi Trikora meletus, ketika itu masyarakat Wondama sedang dalam suasana perayaan ulang tahun Ratu Juliana dari Kerajaan Belanda.

Saat itu da perintah dari Manokwari yang berisi agar melakukan pencarian terhadap tentara Indonesia yang tersesat saat melakukan penerjunan di wilayah Padang Urere.

“Mereka katakan ada (tentara) Indonesia jatuh di Urere. Masyarakat saat itu ketakutan setengah mati. Baru ada (tim) dari Manokwari datang dan bawa anak buah untuk pergi survei ke sana,“ cerita Mbari saat ditemui di rumahnya, Rabu (17/8/2019).

Baca Juga: Kisah Mencekam Ketika Pasukan Khusus Indonesia Bertempurdi Hutan Papua, Bertahan Hidup di Tengah Kumpulan Jenazah, Prajurit Ini Jadi Satu-satunya yang Selamat

Karena ketakutan, warga dari bagian selatan hingga ke utara Wasior (saat itu belum terbentuk Kabupaten Teluk Wondama) beramai-ramai ikut bersama tim dari Manokwari menuju Urere untuk mencari tentara yang hilang.

“Yang bawa rombongan saat itu Geradus Yoteni karena dia yang tahu jalan di atas. Banyak sekali yang ikut karena komando (perintah) jadi kitong naik dari sini jalan kaki sampai ke Semba ada camp di situ, tidak sampai di Urere. Kitong tinggal di situ baru survei dorang (cari prajurit yang jatuh), kitong masuk keluar (hutan) tapi kitong tidak ketemu,“ tutur Mbari.

Tersangkut di pohoh selama seminggu

Warga dan tim pun kembali dengan tangan hampa setelah melakukan pencarian beberapa hari.

Namun, warga lokal Kampung Urere yang bernama Obet Sabarnao, ketika itu menginformasikan tentang penemuan seorang anggota TNI.

Anggota TNI yang disebutkan tadi adalah Kopral Margono.

Secara tak sengaja, Obet menemukan Margono saat dalam perjalanan berburu ke hutan.

Ketika itu awalnya anjing miliknya menggonggong berulang-ulang saat melihat tubuh Kopral Margono tersangkut di atas pohon melinjo atau dalam bahasa lokal disebut pohon genemo.

“Dia tergantung di atas dia tidak bisa berpegangan karena dahan genemo itu lombo (lembek). Dia tergantung sampai muka ini hitam karena darah turun. Kemungkinan sudah tergantung selama satu minggu,“ kata Mbari.

Baca Juga: Pura-pura Mati, Pasukan Terjun Payung Indonesia Ini pun Selamat dari Serangan Musuh ketika Operasi Trikora

Anjingn milik Obet yang terus menggonggong itu membuat Kopral Margono yang mendengarnya kemudian berteriak minta tolong.

Obet mendekat dan hendak menolong, namun dia mengurungkan niatnya lantara melihat tentara itu dalam posisi memegang senjata laras panjang.

Obet merasa takut dan memilih untuk menjauh.

Tetapi, dia tidak tega setelah mendengar teriakan minta tolong dari Kopral Margono.

Obet kembali lagi, namun tetap ada rasa takut, sehingga dia mundur kembali.

Baru yang ketiga kalinyalah Obet memberanikan diri untuk menolong.

“Langsung Obet bilang, bapa nanti saya tolong tapi saya takut jangan tembak saya. Margono jawab, senjata ini nanti saya buang ke bawah. Langsung dia buang senjata ke bawah itu yang Obet dia berani untuk tebang genemo," cerita Mbari.

Margono berhasil diselamatkan oleh Obet, setelah itu mencoba untuk berdiri, namun justru pingsan.

Napas Margono berhenti berdetak, membuat Obet mengira tentara itu meninggal.

Baca Juga: Ketika Operasi Trikora, Kopaska Ternyata Menyiapkan Pasukan Bunuh Diri Menggunakan 'Torpedo Manusia'

Ketika beberapa saat kemudian Margono siuman, dia lantas meminta air karena merasa sangat kehausan.

Sayangnya di dekat tempat itu tidak ada sumber air, ada kali pun jaraknya lumayan jauh.

“Margono bilang air apa saja. Di dekat situ ada kubangan tempat babi biasa mandi. Obet ambil air bekas babi main itu untuk diberikan kepada Kopral Margono langsung dia minum dan rasa agak enakan,“ lanjut Mbari.

Setelah itu, Obet memapah Kopral Margono dan membawanya pulang ke rumah.

Margono pun dirawat dengan baik layaknya keluarga sendiri.

“Dia amankan Margono sampai dirumah. Baru dia kasih tahu ke Margono, bapak kita jauh dari kota jadi tidak ada gula tidak ada beras. Tapi Margono bilang, apa yang kamu makan itu saya makan yang penting saya selamat,“ cerita Mbari.

Lalu, Obet mengirim utusan untuk turun ke Kota Wasior melaporkan penemuan Kopral Margono.

Utusan yang dikirim Obet Sabarnao lantas menyampaikan pesan itu kepada Mbari yang pada saat itu merupakan anggota Hansip Desa Tandia (sekarang Tandia sudah dimekarkan menjadi 3 kampung).

“Langsung saya ke Wasior bertemu polisi Suabey, Petrus Suabey (kepala pos polisi di kota Wasior),“ ucap Mbari.

Baca Juga: Ditugaskan Merebut Irian Barat, Personel Kopaska Tidak Hanya Dibekali Senjata Tapi Juga Kondom, Untuk Apa?

Setelah mendapat berita itu, Petrus Suabey segera membentuk tim untuk melakukan penjemputan Kopral Margono ke Urere.

Tim yang dipimpin Suabey bersama beberapa orang lain termasuk Mbari sendiri kemudian berangkat ke Urere dengan berjalan kaki selama satu minggu.

“Saat tiba di sana dia (Margono) takut jadi dia angkat tangan, dia bilang jangan bunuh saya. Tapi polisi Suabey bilang kita ke mari ini bukan untuk membunuh tapi kita amankan sesuai perintah dari Soekarno, “ tutur Mbari.

Akhirnya Kopral Margono dapat dievakuasi ke Wasior dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua minggu.

“Kitong jalan dari Urere kita bermalam di jalan. Kita bikin para-para (tandu) untuk bantu dipikul. Jalan sampai rasa capek kita istrirahat sampai tembus di Ambumi (sekarang ibu kota Distrik Kuri Wamesa). Baru bawa dengan perahu ke Wasior, “ ujar ayah 11 orang anak ini.

Kopral Margono pun akhirnya dijemput dengan pesawat Cessna di Bandara Wasior ke Manokwari dan selanjutnya ke Jakarta, setelah mendapat perawatan beberapa hari di Wasior.

Sejak peristiwa itu bandara di Teluk Wondama diberi nama Bandara Margono untuk mengenang penyelamatan sang prajurit.

Kopral Margono kala itu berpesan kepada warga yang telah menolong dirinya bahwa dia akan melapor ke Presiden Soekarno dan atasannya agar memberikan imbalan bagi warga Wondama yang telah menyelamatkan nyawanya.

“Tapi sampai saat ini saya belum terima apapun, tapi tidak masalah yang penting kami amankan selamatkan dia saja,“ujar pria yang lahir pada 11 Agustus 1945 ini.

Baca Juga: Digembleng Militer AS, Benny Moerdani Kerap Bikin Stres Anak Buah karena Inginkan Intelijen Harus Sanggup Bekerja di Luar Batas Kemampuan

Mbari di masa tuanya kini, sama sekali tidak menuntut apapun atas apa yang telah dilakukannya untuk menyelamatkan Kopral Margono.

Mbari juga tidak pernah mempersoalkan perjuangan yang telah dilakukan untuk menyelamatkan prajurit Indonesia tidak pernah dikenang dalam sejarah.

Bahkan nama mereka pun tidak pernah diabadikan sebagai seorang pejuang.

“Saya tidak terima ada penghargaan atau yang lainnya. Saat itu kita banyak orang tapi banyak yang sudah mati. Kami tidak menuntut, pemerintah mau ingat kah tidak kah, nanti Tuhan yang kasih imbalan kepada kita, karena kita hanya ingin dia selamat, “ ucap Mbari.

Bagi Mbari termasuk pula Obet Sabernao, apa yang mereka lakukan itu sebagai wujud kasih terhadap sesama manusia.

Tidak hanya itu, mereka lakukan itu juga sekaligus sebagai bentuk rasa cinta terhadap Tanah Air Indonesia.

“Saya harap Bangsa Indonesia semakin maju dan sejahtera sehingga bisa perhatikan masyarakat kecil seperti saya ini yang hidup masih susah,“ pungkas Mbari. (Rachmawati) Baca Juga: Misi Penerjunan Udara Dalam Operasi Trikora, Misi Paling Berani Sekaligus Paling Nekat di Dunia

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari

Artikel Terkait