Penulis
Intisari-Online.com – Kesempatan bekerja yang langka dan tawaran yang menggiurkan membuat banyak pekerja Indonesia memilih untuk bekerja di luar negeri, meski hanya sebagai asisten rumah tangga (ART).
Sayangnya, ada sebuah cerita yang disampaikan oleh pekerja Indonesia yang mengalami kekerasan dari majikannya di Singapura.
Dia diperlakukan oleh majikannya dengan dipukul, ditampar, bahkan pernah dipaksa untuk menelan kapas kotor dan rontokan rambut di kamar mandi (toilet).
Kasus kekerasan terhadap TKI tersebut sudah diadili di Pengadilan di Singapura dengan terdakwa adalah sang majikan, Tan Hui Mei (35).
Tan mengakui kesalahan atas lima dakwaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditimpakan kepadanya.
Pengadilan tersebut kemudian menjatuhkan hukuman penjaran delapan minggu kepada Tan, Rabu (5/5/2021), seperti dikutip dari Channel News Asia.
Tidak hanya itu, dia juga harus membayar kompensasi sebesar 3.200 dolar Singapura kepada ART yang merupakan warga Indonesia.
Apabila tidak membayar kompensasi tersebut, hukuman penjara akan ditambah 16 hari.
Hukuman yang harus dijalani Tan lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yang menghendaki penjara 12-15 minggu dan denda 3.200 dolar Singapura.
Penyiksaan yang dialami oleh TKI terjadi di rumah yang dihuni Tan bersama suami dan tiga anak perempuannya beserta ibu Tan.
Muslikhah, 24, tenaga asal Indonesia tersebut, mulai bekerja untuk Tan pada November 2018.
Ia dijanjikan mendapatkan upah sebesar 600 dolar Singapura setiap bulannya.
Tugas yang harus dilakukannya adalah pekerjaan rumah tangga, seperti memasak, merawat anak bungsu Tan, yang saat itu masih balita.
Kemudian antara November 2018 hingga Maret 2019, disebutkan bahwa Tan memaksa korban untuk menelan potongan kapas kotor di atas meja makan.
Dia menunggu hingga memastikan korban memasukkan kapas tersebut ke mulutnya.
Dalam kurun yang sama juga, Tan menyuruh ART tersebut memakan rontokan rambut dari lantai kamar mandi, dan memastikan juga korban melakukannya.
Korban menelepon polisi pada Desember 2018, dan mengatakan bahwa Tan menamparnya beberapa kali jika Tan tidak puas atas hasil kerjanya.
TKI tersebut masih bersabar dan tetap kembali bekerja di rumah Tan.
Pada tanggal 30 Maret 2019, TKI tersebut memandikan dan menyuapi anak Tan.
Setelah itu, ia meninggalkan balita tersebut di ruangan yang ada anak kedua dan ibu Tan.
Korban tidak mendatangi balita itu ketika menangis, dengan pertimbangan di ruangan itu ada nenek dan kakak peremuannya.
Tan, yang saat itu sedang berada di kamarnya, memarahi korban dan menanyai mengapa korban tidak menjaga anaknya.
Ketika ART tersebut berusaha menjelaskan, Tan menampar pipi kiri dan kanannya serta memukul keningnya tiga kali hingga menimbulkan lebam.
Atas perlakukan majikannya, Muslikhak cuma diam saja dan tidak membalas kekerasan Tan, lalu melanjutkan tugasnya mengurusi pekerjaan rumah tangga.
Lalu, pada malam harinya, Tan memanggil ART tersebut ke kamarnya dan mengatakan ia tidak bisa tidur karena kakinya sakit, lantas meminta korban memijat kakinya.
Namun korban tertidur saat memijat kaki. Tan mencubit lengan bawah ART dan menyuruhnya jangan tertidur lagi. Meski merasa sakit, ART melanjutkan pijatannya.
Belakangan, korban memberi tahu kakak perempuannya tentang kasus yang dialaminya.
Kakak perempuan korban menelepon dan meminta bantuan Sentra Pegawai Domestik.
Kemudian Polisi kemudian mendatangi kediaman Tan, dan korban dibawa ke rumah sakit dengan lebam-lebam di kening dan lengannya.
Pada awal penyelidikan, Tan tidak mengakui perbuatannya, menurut Wakil Jaksa Penuntut Umum Kathy Chu.
Karena kejadian tersebut, korban akhirnya tidak bekerja selama tujuh bulan, sejak April 2019 hingga ia mendapatkan pekerjaan baru di bulan Desember 2019.
Jaksa Penuntut Umum Chu menuntut Tan hukuman penjara 12 – 15 minggu dan kompensasi sedikitnya 3.200 dolar AS atas penyiksaan dan hilangnya pendapatan selama tidak bekerja.
Kuasa hukum terdakwa semula meminta hukuman percobaan atau denda.
Namun ketika hakim menolaknya, kuasa hukum meminta hukuman penjara tidak lebih dari enam minggu dan perintah kompensasi yang lebih ringan.
Kuasa hukum terdakwa mengatakan bahwa apa yang dilakukan kliennya adalah kasus pertama dan bukan sifat dia yang sebenarnya.
Disebutkan, Tan telah mempekerjakan ART selama 10 tahun dan tidak ada kasus sebelumnya.
Bahkan kuasa hukum menyertakan testimoni sifat baik Tan dari seorang mantan ART.
Tan yang hamil pada trimester itu meminta izin bicara langsung dengan hakim.
Ia mengakui salah dan meminta keringanan. Alasannya, ia memiliki tiga anak, dan satu lagi akan lahir, serta seorang ibu yang sakit-sakitan.
“Saya hanya ingin Anda tahu, saya memang salah, dan keluarga membutuhkan saya, saya tidak ingin melahirkan di penjara dan dipisahkan dari anak-anak saya,” ujarnya.
Namun hakim menegaskan bahwa hukuman bagi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah penjara, kecuali ada situasi yang mendesak.
Dalam kasus Tan, kata hakim, tidak ada situasi yang mendesak.
Hakim menyinggung dua luka fisik pada korban serta dampak psikologis lantaran dipaksa makan kapas dan rambut rontok. (Tribun Network/ChannelNewsAsia/hasanah samhudi)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari