Penulis
Intisari-Online.com - Gerakan separatis di Indonesia telah ada sejak negara ini baru merdeka.
Sederet gerakan separatis yang pernah mengancam keutuhan NKRI, misalnya PKI Madiun, DI/TII, PRRI, Permesta, hingga Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang hingga saat masih menjadi 'PR' bagi pemerintah Indonesia.
Penumpasan gerakan separatis di Indonesia selalu menjadi agenda pemerintah.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo memberikan perintah kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menangkap seluru anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua.
Sementara itu, TNI akan segera mengirimkan 400 prajurit dari Yonif 315/Garuda untuk mengejar KKB Papua.
Hal itu menyusul gugurnya Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua setelah terlibat kontak tembak dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), pada Minggu (25/4/2021).
Berbicara tentang penumpasan gerakan separatis di Indonesia, ada kisah menarik ketika tiba hari di mana pemimpin pemberontakan DI/TII, Kartosuwiryo, akhirnya dijatuhi hukuman mati pada tahun 1962.
Saat itu, Kartosuwiryo telah memimpin pemberontakan DI/TII di Jawa Barat sejak tahun 1949 dan berupaya membentuk Negara Islam Indonesia (NII).
Tanggal 16 Agustus tahun 1962, pemimpin gerakan DI/TII itu dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper).
Operasi terhadap gerakan yang menamakan diri Darrul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), di wilayah Jawa Barat itu sendiri menjadi operasi militer yang istimewa bagi Yonif Linud 328.
Pasalnya, operasi itu berlangsung di wilayah sendiri.
Operasi militer yang dilancarkan mulai tahun 1949 hingga 1962 itu termasuk operasi yang panjang karena begitu banyaknya daerah yang telah dikuasai oleh DI/TII.
Upaya Yonif Lanud 328 dan satuan Divisi Silliwangi untuk meredam DI/TII pun dilakukan secara bertahap.
Penyergapan terhadap pimpinan DI/TII SM Kartosoewirjo bahkan merupakan operasi paling terakhir.
Operasi penyergapan Kartosuwiryo dikenal dengan nama Operasi Barata Yudha dengan target menumpas DI/TII hingga ke akar-akarnya.
Upaya untuk menangkap Kartosoewirjo terjadi pada 2 Juni 1962 yang berlangsung di kawasan kaki gunung Gede-Pangrango, Pacet, Jawa Barat.
Pasukan Linud 328 yang dipimpin Letda Suhanda, mengejar Kartosuwiryo berbekal jejak-jejak yang ditinggalkan gerombolan itu usai melakukan perampokan unruk kebutuhan logistik.
Secara perlahan tapi pasti, pasukan pengejar itu berhasil dideteksi persembunyiann Kartosoewirjo.
Ketika itu kelompok Kartosoewirjo segera masuk ke kawasan Gunung Gede untuk bersembunyi.
Pasukan Suhanda melakukan penelusuran dengan sangat hati-hati, pasalnya mereka tahu pasti gerombolan Kartosoewirjo memiliki senjata yang cukup lengkap dan tak segan-segan menembak orang tanpa pandang bulu.
Kehadiran pasukan tersebut sempat diketahui para pengawal Kartosuwiryo, hingga baku tembak yang sengit pecah, namun akhirnya mereka berhasil dibuat menyerah.
Setelah terdesak, tiba-tiba dari arah persembunyian gerombolan Kartosoewirjo muncul seseorang yang berteriak sambil mengangkat tangan dan minta tembak menembak dihentikan.
Tanpa menghilangkan kewaspadaan, personel Linud 328 maju untuk melucuti senjata mereka dan sekaligus menangkap Kartosuwiryo.
Tertangkapnya Kartosoewirjo merupakan puncak prestasi bagi Yonif Linud 328 dalam rangka menumpas DI/TII sekaligus mengakhiri aksi pemberontakan yang berlangsung cukup lama itu.
Setelah melalui proses peradilan dan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper), pada 4 September 1962, sekitar pukul 05:50 WIB, hukuman mati terhadap Kartosoewirjo dilaksanakan.
Eksekusi itu dilaksanakan oleh sebuah regu tembak di sebuah pulai di sekitar Teluk Jakarta.
Sementara surat keputusan untuk menghukum mati Kartosuwiryo, tentu ditandatangani oleh Sang Presiden.
Harus menandatangani surat keputusan tersebut, rupanya Bung Karno sempat menangis mengingat Kartosoewirjo pernah menjadi sahabat dekatnya.
Baca Juga: Kucing Tiga Warna; 8 Makanan Manusia Aman Dikonsumsi Kucing Calico
Tapi bagaimanapun, surat hukuman mati pria bernama lengkap Sukarmadji Maridjan Kartosoewirjo itu harus ditandatangani.
Sementara itu, dikisahkan sebelum dieksekusi, Ketua Mahkamah Darurat Perang saat itu mengabulkan satu dari empat permintaan Kartosoewirjo.
Permintaan yang dikabulkan yakni bertemu dengan keluarga sebelum ditembak mati di Pulau Ubi di kawasan Pulau Seribu.
Disebut, saat itu Ketua Mahadper mengatakan akan mengabulkan apa saja permintaan Kartosoewirjo, asalkan tidak ada sangkut pautnya dengan politik.
Baca Juga: Ingin Hindari Penyakit Refluks Gastroesofagus, Ubah 5 Hal Ini!
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik disini