Kepala BIN Papua Ditembak KKB, Terungkap Kehidupan Menjadi Agen yang Serba Misterius, 'Jika Berhasil Tidak Dipuji, Jika Gagal Dicaci Maki'

Tatik Ariyani

Penulis

Foto ilustrasi badan intelijen negara (BIN).

Intisari-Online.com - Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI Gusti Putu Danny Nugraha gugur ditembak kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, pada Minggu (25/4/2021).

Asisten Operasi Kasdam XVII/Cenderawasih Kolonel Surya mengatakan, jenazah akhirnya berhasil dievakuasi dari Beorga ke Mimika menggunakan helikopter Caracal.

Saat ini jenazah disemayamkan di Batalyon 754/Eme Neme Kangasi di Mimika.

Menjadi bagian dari BIN tentu tak mudah. Ada beban berat yang harus diemban oleh setiap personel intelijen.

Baca Juga: Kejamnya Kebangetan, Inilah Proyek Keji CIA Jadikan Anjing Sebagai 'Robot Hidup', dengan Meletakkan Benda Ini Di Otaknya, Lalu Mengendalikannya dengan Remot Kontrol

Pada tahun 2009,mantan Kepala Badan Intelijen (BIN) As'ad Said Ali pernah menyampaikan orasi ilmiah di hadapan wisudawan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), mengungkap gambaran sosok intelijen.

Seperti dimuat harian Kompas, 7 Oktober 2009, As'ad mengatakan, "Jika berhasil tidak dipuji, jika gagal dicaci maki. Jika hilang, tidak akan dicari, dan jika mati, tidak ada yang mengakui."

Beban berat itulah yang setidaknya mengharuskan seorang personel intelijen menjaga kerahasiaannya dan belajar menjadi sosok yang misterius.

As'ad menuturkan, kerahasiaan merupakan kunci keberhasilan BIN di dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam mengamankan negara.

Baca Juga: Gunakan Berbagai Cara untuk Jebak Targetnya, Inilah Skandal-skandal Agen Israel Mossad

Ketika kedok seorang agen terbongkar dan misinya diketahui pihak lain, dapat dikatakan agen itu gagal.

Ia mencontohkan sebuah operasi intelijen yang baik dalam mencari informasi dan mengolahnya sebagai laporan yang baik.

"Misalnya ketika Khruschev (Presiden Uni Soviet) sakit. Tentu itu memiliki makna yang penting bagi stabilitas sosial saat itu," kata dia saat dihubungi Kompas.com, Rabu (3/2/2016).

Seorang agen yang andal tak hanya mencari informasi di media massa.

Ia akan pergi ke rumah sakit untuk melakukan cek, ricek, dan kroscek mengenai kondisi Khruschev.

"Kalau tanya dokter tentu tidak mungkin karena pasti dikawal oleh KGB saat itu. Tanya saja ke tukang besi atau OB di sana, dirawat di kamar nomor berapa. Dengan mengetahui nomor kamarnya, kita akan tahu bahwa itu kamar khusus untuk perawatan penyakit apa dan siapa dokter yang menanganinya," ujarnya.

Bagi As'ad, kemampuan analisis merupakan hal yang tak kalah penting yang harus dimiliki seorang personel, selain kewajibannya dalam menjaga kerahasiaan.

Ia juga menekankan pentingnya kecepatan dan keberanian seorang personel dalam mengambil keputusan.

Baca Juga: Dicap Saling Bermusuhan, Nyatanya Para Umat Muslim Bersatu untuk Selamatkan Orang Yahudi Selama PembantaianHolocaust, 'Tanpanya,Aku dan Ibuku Bisa Langsung Terbunuh'

"Makanya, saya selalu tekankan kepada setiap agen agar memiliki kedalaman berpikir seperti intelektual, kecepatan gerak seperti wartawan, dan ketegasan sikap seperti militer," ujar dia.

"Ketiga dasar itulah yang pada akhirnya menjadi cerminan dari asas BIN, veloc et exactus, yang artinya cepat dan tepat. Selalu cek, ricek, dan kroscek setiap informasi yang diterima," kata As'ad.

Kemisteriusan seorang agen rahasia dicontohkan oleh dua penggawa intelijen Indonesia, yaitu Jenderal LB Moerdani dan Kolonel Zulkifli Lubis.

Pada buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis yang ditulis Julius Pour, ada pengalaman menarik Moerdani dalam menjaga kerahasiaannya.

Cerita itu bermula ketika Moerdani pergi ke Markas Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Moerdani yang saat itu telah berpangkat mayor jenderal mengendarai mobilnya tanpa mengenakan seragam dinas menuju kantor yang terletak di kawasan Medan Merdeka Barat tersebut.

Setiba di lokasi, ia langsung memarkirkan kendaraannya di tempat parkir khusus bagi perwira tinggi militer.

Tanpa pikir panjang, seorang penjaga berpangkat bintara yang berasal dari satuan marinir menghardiknya.

Baca Juga: Namanya Tak Setenar Kopasus, Tapi Memiliki Tugas dengan Risiko Tinggi Seperti Kru KRI Nanggala-402, Ternyata Segini Gaji Menjadi Anggota Korps Hiu Kencana

Penjaga itu meminta Benny memindahkan mobilnya ke lokasi parkir lain. Ia tidak marah dan hanya diam mengikuti perintah marinir tersebut.

"Mungkin memang salah saya sendiri, kok waktu itu pakai pakaian preman," ujar Benny.

Jauh sebelum Moerdani, Kolonel Zulkifli Lubis telah ditunjuk sebagai komandan intelijen pertama di Badan Istimewa (BI).

Badan itu merupakan badan intelijen pertama yang didirikan pemerintah pada Agustus 1945 di bawah Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian bertransformasi menjadi Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) pada 1946.

Harian Kompas pernah menulis sosok kontroversial itu pada 28 Juni 1992, beberapa hari setelah ia wafat akibat sakit yang dideritanya.

Sebagaimana layaknya sosok seorang intelijen, perjalanan kariernya selalu bisa menyulut penilaian pro-kontra.

Pada era 1950-an, sempat terjadi peristiwa makar, yaitu percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.

Peristiwa yang lebih dikenal sebagai Peristiwa Cikini itu dilakukan oleh sekolompok teroris asal Nusa Tenggara Barat.

Oleh sejumlah lawan politiknya, Lubis sempat diduga sebagai dalang peristiwa tersebut. Sebab, pada era itu memang terjadi sejumlah peristiwa pembangkangan militer.

Para teroris yang diadili mengaku kenal Lubis. Namun, selama persidangan, tidak pernah ada bukti dan petunjuk bahwa Lubis mendalangi aksi teror itu.

Hingga sekarang, Lubis belum pernah diajukan ke pengadilan untuk memperjelas kasusnya.

Daan Mogot, bekas rekannya yang belajar bersama di Seinen Dojo di Tangerang pada era penjajahan Jepang, tidak pernah yakin Lubis berada di balik Peristiwa Cikini.

Ia justru menduga ada rekayasa yang dilakukan oleh pihak tertentu sebagai tindak lanjut pelaksanaan Piagam Yogya.

"Dengan meletusnya teror Cikini, perundingan menjadi mentah. Sebaliknya, radikalisme semakin merangsang semua pihak yang selama itu baru dalam tahap berbeda pendapat," demikian kata Daan Mogot.

"Masa seluruh pelaku teror tersebut dalam sehari semuanya sudah bisa digulung? Mana mungkin kalau bukan hasil rekayasa...," lanjut dia.

Artikel Terkait