Penulis
Intisari-Online.com-Ketika Kerajaan Islam Granada di Spanyol ditaklukkan oleh Ferdinand dan Isabella, Sayyida al-Hurra yang baru berusia 7 tahun, beserta keluarganya terpaksa mengungsi ke Maroko.
Dan menetap di Chaouen. Saat berusia 16 tahun, ia menikah dengan Sultan al Mandri.
Bersama-sama, mereka menjadi orang yang bertekad untuk melawan Portugis bersama keluarganya.
Namun pada 1515 M, suaminya meninggal dan sekaligus menjadikan Sayyida sebagai gubernur Tétouan menggantikan suaminya.
Sebagai seorang gubernur perempuan, kepemimpinan Sayyida al-Hurra sungguh mengagumkan.
Sayyida al-Hurra juga cerdas dalam memainkan taktik politik dan diplomasi dengan Spanyol serta Portugis.
Dia bahkan mendapat pujian dari Ratu Spanyol Isabella sebagai perempuan Andalusia yang kuat.
Setelah menjadi gubernur, Sayyida kemudian menjalani takdirnya sebagai Ratu Maroko.
Hal itu dikarenakan pernikahannya dengan sultan Maroko penguasa Fes, Ahmed al-Wattasi.
Masih menyimpan dendam karena perebutan tanah airnya oleh Ferdinand dan Isabella, berkobarlah dendam dalam dada Sayyida yang membuatnya sangat ingin balas dendam.
Dia kemudian bersekutu dengan Barbarossa al Algeirs Kanselir Turki untuk menguasai jalur laut di Eropa dan Timur Tengah.
Segera Sayyida kemudian mengambil alih Mediterania Barat.
Sejak itulah, dia menjadi ratu bajak laut yang ditakuti di seantero Eropa pada awal abad ke-16.
Menurut Laura Sook Duncombe, penulisPirate Women: The Princesses, Prostitutes and Privateers Who Ruled the Seven Seas, mereka dipandang sebagai "bajak laut yang brutal dan menakutkan."
Bahkan mereka memperbudak orang-orang Kristen dengan menyedihkan.
Pada gilirannya reputasi monster pun dimilikya dan membuatnya menjadi ratu bajak laut yang memikat dan menakutkan sepanjang sejarah.
Suksesi yang tak tertandingi setelah kematian suami pertamanya menunjukkan bahwa dia memiliki kapasitas untuk berkuasa.
Sayyida mempelopori aliansi yang mendorong umat Islam untuk bersatu melawan kolonisasi Eropa di Maroko.
Sementara orang Eropa melihat Sayyida dan para perompak sebagai tidak lebih dari pencuri dan pembunuh, Ottoman memandang mereka sebagai "pejuang kemerdekaan yang berdiri di garis depan."
Sayyida adalah pemimpin bajak laut yang tak terbantahkan di Mediterania Barat.
Namun, seperti pada umunya seorang penguasa, Sayyida pun tak lepas dari gelimangan uang dan permainan politik.
Kebesaran namanya pun harus tumbang ditangan menantu laki-lakinya sendiri yang melakukan kudeta pada 1542.
Sejak saat itu, Sayyida kembali ke kampung halamannya di Chefchaouen hingga meninggal dengan tenang pada 1561.
Bagaimanapun, sepak terjang kehidupan Sayyida membuatnya menjadi penguasa perempuan Islam terakhir yang memiliki gelar "al-Hurra," yang berarti wanita berdaulat dan menjadi pahlawan Maroko.
(*)