Soviet membutuhkan sekutu setelah perang, sedangkan Indonesia berupaya mencari dukungan untuk menghilangkan bekas-bekas penjajahan Belanda.
Dilansir dari Russia Beyond The Headline, Pemerintah Soviet mulai membicarakan Indonesia di tingkat Komite Pusat (Partai Komunis Uni Soviet) pada 1955, ketika penandatanganan Dasasila Bandung (sepuluh poin hasil pertemuan Konferensi Asia-Afrika).
Peristiwa itu menarik seluruh perhatian dunia.
Sejak itu, nama presiden Indonesia, Soekarno, mulai sering muncul di surat-surat kabar Soviet.
Secara perlahan, Indonesia mulai menarik perhatian Soviet. Hubungan diplomatik kedua negara semakin kuat.
Di tengah gencarnya Perang Dingin, Indonesia tetap bersikukuh tak memihak dan mempertahankan sikap nonbloknya.
Bahkan, Indonesia mempelopori Gerakan Non Blok (GNB) di Beograd, Yugoslavia.
Inilah yang membuat PM Nikita Khrushchev membawa Uni Soviet semakin dekat dengan Indonesia.
Nikita Khrushchev mendukung Indonesia
Pada 1956, setelah Kongres Partai Komunis Uni Soviet yang ke-20, Presiden Soekarno berkunjung ke Uni Soviet.
Sang proklamator mendapatkan sambutan hangat dari PM Nikita Khrushchev.
Keduanya saling bertukar pikiran dan pendapat mengenai kondisi negara masing-masing.