Find Us On Social Media :

Inilah Kisah Letnan Komarudin, Konon Disebut Sebagai Tentara Indonesia yang Sakti Mandraguna, Kebal Peluru dan Bacok, Namun Keberadaannya Misterius di Akhir Hidupnya

By Afif Khoirul M, Senin, 29 Maret 2021 | 13:55 WIB

Kenapa Bisa? Militer Indonesia Dinilai Unggul dari Israel

Intisari-online.com - Kisah mengenai prajurit kebal peluru tampaknya bukanlah isapan jempol semata.

Menurut legenda memang banyak orang diyakini kebal peluru sampai pasukan Belanda sempat ketakutan dengan orang Indonesia.

Bahkan sampai kini, masih ada juga masih mempercaya bawah jimat ilmu kebal peluru yang akan menyelamatkan jiwa dan raga dalam kondisi apa pun.

Di masa lalu, memang kerap terdengar nama-nama pejuang Indonesia yang dikebnal pemberani dan punya kemampuan yang mumpuni.

Baca Juga: Datang Jauh-Jauh Dari Jepang Untuk Melatih Tentara Indonesia, Master Karate Ini Malah Langsung Tumbang Saat Tanding dengan Pelatih Silat Indonesia Ini, Sekali Hajar Langsung KO

Mereka juga dikenang dalam cerita masyarakat sakti kebal-kebal terhadap senjata.

Di Aceh misalnya, seperti dilansir dari Serambi Aceh, tersebutlah nama seornag pejuang Aman Dimot.

Aman Dimot berperang dengan Belanda dengan cara unik, menghadang tank dan truk pasukan Belanda.

Bukan hanya itu, dia dianggap kebal dan memiliki ilmu kanuragan karena tidak tergores apabila disabet pedang ataupun tidak mempan ditembus peluru.

Baca Juga: Merah Warna Baret Pasukan Khusus Indonesia Kopassus, Ini Makna Warna dan Posisi Baret TNI

Sesuai dengan julukannya, Pang Aman Dimot dikenal pemberani dan tidak kenal takut jika menghadapi Belanda.

Bahkan, pemuda itu tidak gentar walaupun dalam keadaan perang terbuka atau perang jarak dekat.

Ditambah lagi, saat bala bantuan pasukan Belanda semakin melemahkan perlawanan pejuang saat itu, Aman Dimot berkeras untuk tetap melakukan perlawanan.

Pilihan itu tetap diambil meski Komandan Ilyas Leube sudah memberi perintah kepada pasukan tersebut untuk mundur dan meninggalkan medan perang.

Letnan Komaruddin : Opsir Kebal Peluru

Bagi generasi 90-an, tentu akrab dengan sejumlah film bertema perjuangan.

Salah satunya yang cukup terkenal adalah film Janur Kuning yang konon film wajib ditonton di sejumlah sekolah pada era 1980-an.

Penulis buku seri sejarah, Hendi Jo seperti dikutip darinya buku Orang-Orang di Garis Depan', terbitan Matapadi Presindo, Cetakan ke dua 2019 halaman 66 menulis, dalam film Janur Kuning ada tokoh "pejuang selon" yang diperankan oleh aktor Amak Baldjun.

Baca Juga: Punya Julukan Mentereng Sebagai Pasukan Elit Dunia, SAS Inggris Ternyata Pernah Dipecundangi Oleh Kopassus di Hutan Kalimantan, Begini Kisahnya

Digambarkan dalam film tersebut, saat adegan Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta tanpa mengenal memburu serdadu-serdadu Belanda yang melakukan gerakan mundur seraya menembakkan senjata-senjata mereka ke arah gelirlyawan TNI berbaret hitam.

Masih dari kutipan buku yang sama, dalam sejarah Perang Kemerdekaan di Yogyakarta, sejatinya tokoh ini memang benar-benar ada.

Namanya Letnan Komaruddin.

Jabatannya waktu itu komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono (anak buah Letnan Kolonel Soeharto).

Di kalangan anak buahnya, mantan prajurit PETA di Kalasan ini terkenal sebagai anti kogel/tahan peluru.

Bahkan saking saktinya, kekebalan Komaruddin akan peluru konon bisa melindungi orang sekitarnya dalam radius 10 meter dari dirinya.

Rupanya "kesaktian" Letnan TNI Komaruddin tidak muncul begitu saja.

Sebagai pejuang pemberani, ia disebut- sebut masih memiliki hubungan darah dengan Kyai Abdur Rahman (sebagai cicit) yang dikenal sebagai Mbah Tanjung.

Mba Tanjung, salah seorang ulama terkemuka yang hidup di Ploso Kuning Minomartani, Sleman pada era kekuasaan Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792).

Ia pun diyakini merupakan keturunan langsung Bantengwareng, salah seorang panglima perang pasukan Pangeran Diponegoro.

Karena keturunan orang-orang sakti itulah, banyak dipercaya anggota pasukanya, ia kebal terhadap senjata apapun.

Begitu populernya nama Komaruddin hingga di wilayah Sleman, ada sebuah masjid yang disemati namanya: Masjid Al Komaruddin.

Sebelum bergabung dengan Soeharto, usai dari PETA, Komaruddin memang pernah bergabung dengan Lasykar Hizboellah setempat.

Banyak kawan-kawannya mengenal Komaruddin sebagai sosok yang jenaka, selon, pemberani namun sedikit agak sentimentil jika disentuh sisi-sisi kemanusiannya.

Baca Juga: Satu Anggota KKB Papua Tewas dalam Baku Tembak, Temannya yang Berhasil Kabur Justru Lakukan Hal Tak Terduga Ini, 'Motifnya Selalu Begitu'

Salah satu contoh, saat Panglima Besar Soedirman (dalam suatu pemeriksaan pasukan usai turun gunung) menasehati, mengkritik sekaligus memuji serangan 'salah lihat kalender"nya pada 28 Februari 1949, ia langsung terisak-isak menangis sambil terbata-bata berujar: "Siap Panglima! Saya tak akan mengulanginya!"

Peleton yang dipimpin Letnan Komaruddin memang dikenal sangat berani dan sering mengacak-acak pertahanan militer Belanda di dalam kota Yogyakarta.

Begitu disegani namanya hingga pihak intelijen militer Belanda (NEFIS) pernah menjadikannya buronan.

Menurut sejarawan militer Moehkardi, konon penyerangan militer Belanda ke dukuh Plataran pada 24 Februari 1949 ( yang menimbulkan korban tewas beberapa kadet Akademi Militer Yogyakarta) adalah salah satunya dalam rangka mencari dirinya, yang memang saat itu ia sedang berada di dekat dukuh tersebut.

Lantas bagaimana nasib Komaruddin seusai Memang jarang sumber-sumber sejarah yang memberitakan keberadaannya pasca penyerahan kedaulatan.

Kecuali satu sumber dalam buku 'Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi' Yogya oleh Daud Sinjal.

Di situ dituliskan tentang, tuduhan sebagian kalangan militer kala itu yang menyebut dia terlibat dalam gerakan DI/TII.

Menurut Priyanto (59), sangkaan itu muncul kala komp Komaruddin (saat itu berpangkat kapten) pada tahun 1950-an, dikirim ke Malangbong, Garut untuk menumpas pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI TII) pimpinan Sekar Maridjan Kartosoewirjo.

Alih-alih berperang, di Garut Kompi Komaruddin malah kerap ngopi bareng" dengan pasukan DI/TII.

Rupanya Komaruddin merasa jengah berperang dengan para gerilyawan yang sebagian merupakan rekannya saat aktif di Hizboellah.

Malah di antaranya ada juga yang pernah satu perguruan dengannya saat belajar agama dan kanuragaan.

"Akibatnya Mbah Komar dan pasukannya ditarik kembali ke Yogya dan sesampainya di markasnya langsung dipere TII secara massal" ujar lelaki yang masih termasuk cucu dani Komaruddin tersebut.

Dalam bukunya, Daud Sinjal menuliskan ternyata setelah diselidiki tuduhan itu sama sekali tidak benar.

Baca Juga: Pantas Aksinya Makin Merajalela, Terbongkar Sudah Biang Kedali yang Jual Ratusan Amunisi dan Senjata ke KKB, Ternyata Oknum TNI dan Begini Modusnya

Nama Komaruddin kemudian direhabilitasi dan ia aktif kembai di ketentaraan.

Namun sepertinya upaya rehabilitas tak otomatis membuat karir ketentaraannya menanjak.

Dikisahkan beberapa saat setelah ia mendapat rehabilitasi dan ia aktif kembali di ketentaraan secara resmi.

Usai tidak aktif di ketentaraan, pada 1960-an, Komaruddin memilih dunia jalanan sebagai jalur hidupnya.

Di Yogyakarta, namanya terkenal sekaligus disegani sebagai "preman berhati "Tempat tongkrongan favoritnya di samping pabrik susu SGM," ujar Amiruudin, putra kedua dari Komaruddin.

Sekitar tahun 1969, Komaruddin secara misterius tiba-tiba menghilang dari Yogyakarta. Soetojo alias Boyo (buaya), seperjuangannya waktu melawan Belanda, lantas mencarinya hingga ke Jakarta setahun kemudian.

Di ibukota Boyo menemukan Komaruddin di wilayah Cempaka Putih.

Ia tinggal di sebuah gubuk kecil yang terletak di tengah-tengah rawa (tanah milik Kodam V Jaya?)

Ia menghidupi kesehariannya dengan bekerja sebagai seorang preman yang ditakuti di wilayah Pasar Senen.

Baik teman Amiruddin menduga keberadaan Komaruddin di Jakarta atas sepengetahuan Presiden Soeharto, yang merupakan mantan komandannya di Yogyakarta.

"Buktinya, saat tinggal di rawa terletak di Cempaka Putih itu, tiap bulan secara rutin yang ia kerap mendapatkan jatah beras bagian untuk tentara..." ujar lelaki kelahiran Yogyakarta pada 1962 tersebut. (Aminnudin/Tribunnews)

Source: Tribunnews