Penulis
Intisari-online.com - Pada 1 Februari lalu militer Myanmar berhasil mengkudeta pemerintah sipil yang berkuasa.
Tindakan yang dilakukan oleh militer tersebut, disebabkan kecurigaan militer terhadap pemerintah yang berkuasa.
Mereka menuduh pemerintah sipil melakukan kecurangan dalam pemilu, sehingga memperoleh suara sebanyak 90%.
Hal itu dianggap melanggar kode etik demokrasi, sehingga militer melakukan kudeta pada pemerintah sipil.
Hasilnya, militer Myanmar berhasil menggulingkan pemerintahan sipil dan menguasai negara hingga saat ini.
Sudah nyaris 2 bulan Militer Myanmar menguasai negara dan kerusuhan pun terjadi.
Menurut Reuters, pada Minggu (28/3/21), kerusuhan terjadi akibat protes dari rakyat Myanmar, sehingga kekerasan dilakukan oleh militer.
Bahkan, beberapa pengunjuk rasa dilaporkan tewas, akibat menentang kekuasaan militer.
Situasi ini membuat beberapa kelompok berencana untuk melawan balik militer Myanmar.
Menurut Reuters, mengutip seorang pemimpin salah satu kelompok minoritas bersenjata di Myanmar pada 27 Maret.
Mmengatakan bahwa kelompok minoritas bersenjata tidak akan duduk diam jika lebih banyak pengunjuk rasa tewas.
"Hari ini bukanlah hari angkatan bersenjata Myanmar tetapi hari mereka membunuh," kata Yawd Serk, pemimpin Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan (RCSS) kepada Reuters pada 27 Maret.
"Ini bukan untuk melindungi demokrasi tetapi untuk merusak demokrasi," Serk menekankan.
"Jika mereka terus menembaki para pengunjuk rasa dan menggertak orang, saya pikir semua minoritas bersenjata tidak akan menonton," Serk menambahkan.
Menurut Reuters, banyak pengunjuk rasa menyerukan tentara federal dan Serk mengatakan dia mendukungnya.
"Kelompok minoritas bersenjata memiliki musuh yang sama dan kita perlu bergandengan tangan dan berurusan dengan mereka yang menyakiti orang. Kita perlu bergandengan tangan," kata Serk
Pernyataan Serk datang setelah pengunjuk rasa yang tewas di Myanmar pada 27 Maret saja mencapai 114 orang.
Karena militer negara itu terusmelakukan kekerasan pada pengunjuk rasa, menurut statistik situs Myanmar Independent News Now.
27 Maret juga merupakan hari dimana tentara Myanmar merayakan Hari Angkatan Bersenjata tahunannya.
RCSS, yang beroperasi di dekat perbatasan Thailand, adalah salah satu dari beberapa minoritas bersenjata di Myanmar yang mengecam kudeta tersebut.
Mereka berjanji untuk berdiri berdampingan dengan para pengunjuk rasa. Ada lebih dari 20 kelompok minoritas bersenjata yang menguasai sebagian besar wilayah Myanmar.
Setelah memimpin parade di ibu kota Naypyitaw untuk merayakan Hari Angkatan Bersenjata.
Panglima Angkatan Darat Myanmar Min Aung Hlaing pada 27 Maret menegaskan kembali janjinya untuk mengadakan pemilihan, tetapi tidak menjelaskan kapan waktunya.
"Militer akan bergandengan tangan dengan seluruh bangsa untuk melindungi demokrasi," kata Hlaing.
"Pemerintah juga berusaha melindungi rakyat dan memulihkan perdamaian di seluruh negeri. Tindakan kekerasan mempengaruhi stabilitas dan keselamatan." Keamanan yang diklaim tidak tepat, "kata Hlaing dalam sebuah pernyataan. siaran langsung.
Sebelumnya, militer Myanmar mengeluarkan peringatan bahwa pengunjuk rasa berisiko ditembak di kepala.
Di saatyang sama ada seruan agar orang-orang turun ke jalan selama Hari Angkatan Bersenjata negara itu.
Menurut kelompok pemantau Asosiasi Pendukung Narapidana Politik (AAPP), sekitar 330 orang tewas dalam protes terhadap rezim politik.
Termasuk sejumlah besar orang terbunuh oleh tembakan langsung dari aparat keamanan dan lebih dari 3.000 orang. ditangkap.