Penulis
Intisari-Online.com – Siapa yang tidak kangen untuk kembali lagi bertandang ke Yogyakarta?
Dengan keanegaraman budaya di Yogyakarta serta tempat-tempat wisatanya, bagi yang pernah datang ke Yogyakarta, menjadikan tempat ini ngangeni.
Apalagi, bila Anda bertandang ke kampung unik di Gunungkidul, Yogyakarta ini, Anda tidak akan mendapati banyak orang di tempat ini.
Lho, kenapa?
Sekilas kampung di Kalurahan Nglanggeran, Kapanewon Patuk, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu seperti kampung pada umumnya.
Namun, siapa sangka ada kepercayaan unik yang dipegang erat oleh masyarakat kampung di sekitar puncak Gunung Api Purba tersebut.
Sejak dahulu, kampung itu hanya ditinggali oleh tujuh keluarga.
Tak heran kampung itu pun dikenal dengan nama Kampung Pitu.
Baca Juga: Mantan Anggota DPR Gunungkidul Ketahuan Curi Pisang, Namun Ia Tak Ditahan, Ini Kata Polisi
Dalam bahasa Indonesia, pitu artinya tujuh.
Asal-usul berdirinya Kampung Pitu, dari kisah telaga dan kuda sembrani
Menurut salah satu sesepuh adat Kampung Pitu Yatnorejo, keberadaan Kampung Pitu berawal dari Telaga Guyangan yang tak jauh dari rumahnya.
Konon, area yang kini merupakan persawahan dengan mata air itu adalah sebuah telaga. Telaga tersebut pernah digunakan untuk mencuci kuda semberani.
Cerita itu dipercaya secara turun-temurun. Bahkan warga meyakini, sisa tapak kaki kuda sembrani masih ada hingga saat ini.
Di sekitar Telaga Guyangan, sempat diadakan sayembara Keraton.
Sayembara itu berbunyi akan memberikan hadiah tanah bagi siapa pun yang mampu menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung.
Ternyata hanya dua orang yakni kakak beradik Iro Dikromo dan Tirtosari yang bisa menjaganya.
Mereka dan anak cucunya diperkenankan tinggal di tempat itu.
Hanya tujuh keluarga
Ada alasan mengapa kampung itu disebut dengan Kampung Pitu.
Sebab, hanya ada tujuh keluarga yang boleh tinggal di tempat tersebut. Kata pitu berasal dari bahasa Jawa yang berarti tujuh.
"Meski memiliki banyak anak turun, tetapi setelah menikah hanya diperbolehkan tujuh kepala keluarga," tutur Yatnorejo.
Sebenarnya, kata dia, ada delapan rumah di kampung tersebut. Namun, hanya tujuh yang ditempati.
Kepercayaan hanya ditinggali tujuh keluarga ini terus dipegang erat oleh masyarakat setempat hingga kini.
"Dari generasi pertama sampai saat ini tidak ada penduduk dari luar daerah yang tinggal di sini. Selain itu, jika penduduk sudah menikah pun harus keluar," kata Yatnorejo.
Dia mengatakan, warga kampung itu mencari penghidupan dengan bertani dan beternak.
Pantangan selenggarakan pertunjukan wayang kulit
Selain terkait jumlah keluarga yang harus menempati, ada kepercayaan lain yang terus diyakini hingga kini.
Warga Kampung Pitu pantang menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit. Sebab, gunung di sekitar desa tersebut dinamakan gunung wayang.
Sehingga, warga kampung pitu memegang kepercayaan untuk tidak menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.
Masyarakat di Kampung Pitu juga masih teguh dengan beberapa tradisi, misalnya dalam membangun rumah dan upacara-upacara.
"Mau mendirikan rumah pun harus sesuai perhitungan masyarakat Jawa pada umumnya, harus ada hari yang tepat. Selain itu ada kenduri," kata Yatnorejo.
Siapkan penerus untuk tinggal di Kampung Pitu
Yatnorejo, sebagai sesepuh desa, mengatakan, warga juga akan menyiapkan penerus untuk menempati Kampung Pitu.
Dia akan menunjuk satu anaknya untuk menemaninya tinggal di tempat tersebut.
Meski jauh dari pusat keramaian, hal itu tak menyurutkan minat generasi berikutnya untuk tinggal di sana. Salah satunya Sarjono yang merupakan menantu Yatnorejo.
"Ingin tinggal di sini suatu saat nanti," akunya. (Markus Yuwono)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari