Penulis
Intisari-Online.com - Petani garam kristal Syamsul Hadi (50 tahun) di Dusun Pelebe, Desa Ketapang Raya, Lombok Timur, mengaku garamnya sudah tiga tahun tak laku dijual.
Selama ini, Hadi menyimpan 4 ton garam di dua gudang miliknya dan masih menunggu pembeli dari pengusaha garam.
"Sekarang tidak ada yang mau beli garam."
"Sudah tiga kali musim kembalit (kemarau) garam ini tidak ada yang mau beli," kata Hadi, saat ditemui Kompas.com, Minggu (21/3/2021).
Hadi menuturkan, sebagai kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya pada hasil garam, ia sangat terpukul dengan kondisinya sekarang, karena belum ada satupun orang yang pernah menawarkan garamnya.
"Susah sekarang dengan mata pencaharian kita ini (garam), kalau terus seperti ini, kita bisa mati," tutur Hadi.
Hadi biasanya menjual garam dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 15.000 untuk ukuran satu karung yang berisi 20 kilogram garam.
Hadi mengaku, usaha sebagai petani garam tidak seperti pada awal-awal yang sedikit memberikan kehidupan perekonomian pada keluarganya.
Hadi menyebutkan, banyak garam kristal murah yang masuk ke daerahnya sebagai pesaing, yang kemudian memenuhi kebutuhan industri pembuatan garam halus.
"Kan di Desa ini banyak juga pembuat garam halus, bahan bakunya dari garam kasar seperti kami ini, tapi sekarang mereka beli yang luar daerah, dengan harga murah," kata Hadi.
Untuk bertahan hidup di tengah kondisinya yang sulit, Hadi biasanya pergi mencari ikan untuk makan sehari-hari.
"Kami hanya bisa pasrah, kami bertahan hidup cari ikan, udang di laut untuk makan, kalau banyak dapat, kami jual," tutur Hadi.
Baca Juga: 10 Militer Paling Miskin di Dunia Tahun 2021, Laos Masih Ada dalam Daftar Ini!
Senada dengan Hadi, Sukur (60) yang juga petani di Desa tersebut, juga mengalami kondisi serupa.
Sukur menurutkan, bahwa ia sudah terlanjur mencintai pekerjaan sebagai petani garam, dan tidak ada pekerjaan yang ia bisa lakukan selain bertani.
"Saya sudah cinta terhadap pekerjaan sudah 20 tahun, tidak ada pekerjaan yang saya bisa lakukan selain ini," kata Sukur.
Ayah dua anak ini menurutkan, bahwa akibat lama garamnya tidak terserap, garam yang disimpannya di gudang, habis terbawa banjir.
"Saya punya kemarin 2 ton garam, tapi habis karena banjir ke marin, air laut naik, kita rugi," kata Sukur.
Sukur menduga, garamnya tak kunjung terserap juga tak terlepas dengan akibat dari pandemi Covid-19.
Sukur mengaku pernah bergabung dengan tim petani garam, namun menurutnya hal itu tidak banyak membantu.
Sukur berharap, pemerintah bisa membantu petambak garam menyerap garam yang masih ada di gudang timnya.
Baca Juga: Begini Penjelasan Star Syndrome Bisa Jatuhkan Mentalitas dan Karier Pemain Sepakbola
(*)