Keturunannya Lakukan Cara Konyol untuk Tes Kegadisan, Raja Ini Malah Ogah Punya Keturunan dan Beri Hukuman Kejam Ini pada Selirnya yang Hamil

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma (kiri) dan Goodwill Zwelithini (kanan) di depan patung Shaka Zulu

Intisari-Online.com - Pada Jumat (12/3/2021) waktu setempat, Raja Zulu di Afrika Selatan, Goodwill Zwelithini, dilaporkan meninggal di usia 72 tahun.

Selama 49 tahun kekuasaannya, Raja Zwelithini menggelar festival di mana gadis perawan harus menari di hadapannya sambil bertelanjang dada.

Raja Zwelithini menuai kemarahan aktivis perempuan dan HIV/AIDS karena tes keperawanan yang dilakukannya pada para gadis.

Meski ditentang oposisi, Raja Goodwill memutuskan tetap menggelar tes keperawanan dengan dalih membantu negara memerangi HIV/AIDS.

Baca Juga: Dipaksa Mundur dari All England 2021, Nyatanya Tim Indonesia Berada dalam Satu Pesawat dengan Pemain Tunggal Putri Turki yang Tetap Terus Main, Bagaimana Ini?

Tesnya adalah si gadis menari telanjang dada sambil membawa buluh. Jika buluh itu patah di hadapan raja, berarti dia tak perawan.

Beda raja Zulu Goodwill Zwelithini, beda pula raja Zulu Shaka yang hidup sezaman kaisar Prancis, Napoleon, dan bahkan dijuluki sebagai 'Napoleon Afrika' oleh beberapa orang.

Hal ini karena Shaka tidak mau mempunyai keturunan.

Selama bertahun-tahun, Shaka mengalahkan para pemimpin lainnya, dan memperbesar wilayah yang dikendalikan oleh Zulu.

Baca Juga: Daimler Reitwagen Cikal Bakal Mobil, Ternyata Jok Sepeda Motor Pertama di Dunia Ini sempat Terbakar saat Uji Cobanya

Shaka juga menjadi semakin brutal dan gila.

Misalnya, ia akan menyuruh para pejuangnya dipukuli sampai mati karena lemah dan pengecut.

Lebih jauh lagi, dia tidak mengambil istri sah karena paranoid ahli waris tahta akan berencana untuk melawannya.

Bahkan jika seorang selir hamil, dia akan dieksekusi.

Baca Juga: Citra Satelit Ungkap 'Rencana Rahasia Besar' China yang Satu Ini di Dekat Taiwan, Jenderal Komando Militer Tiongkok: 'Kerahkan Besar-besaran'

Masa Muda Shaka Menjadi Pendekar

Pada usia 16 tahun, Shaka menjadi anak gembala raja karena kecerdasan, keberanian, dan inovasinya.

Persaingan sengit antara penggembala ternak di wilayah tersebut juga menimbulkan konflik.

Dingiswayo mempersiapkan ini dengan mengorganisir para pemuda ke dalam resimen berdasarkan kelompok usia mereka.

Baca Juga:Kisah Petapa India yang Pamerkan 'Kesaktiannya' Bisa Hidup Kembali Setelah Dikubur Selama 40 Hari

Shaka segera direkrut sebagai seorang prajurit, dan resimennya dikenal sebagai Izi-cwe ('Bushmen').

Shaka diperlengkapi dengan perisai oval dan tiga tombak.

Pertempuran antara suku-suku biasanya diawali dengan dua orang yang saling berdiri berhadap-hadapan pada jarak 35 hingga 45 meter.

Kemudian masing-masing pihak akan melemparkan tombak ke arah musuh.

Baca Juga:Coba Saingi Indonesia, Malaysia Bikin Senapan Sendiri Tapi malah Jadi Olok-olokan Dunia

Pertempuran berakhir ketika salah satu dari mereka melarikan diri, atau jika dikejar mereka akan meletakkan senjatanya dan menyerah kalah.

Shaka Merancang Tombak dan Pertempuran Baru

Karena tombak pemberian itu dirasanya terlalu rapuh, maka Shaka menciptakan iklwa, sebuah tombak dengan pisau besar yang melekat pada pegangan pendek yang kuat.

Shaka juga menyempurnakan formasi militer yang ada ke dalam formasi ‘tanduk kerbau’ yang sekarang dikenal.

Baca Juga:Para Ilmuwan Ini Mampu Mengubah Timah Menjadi Emas Tapi Tidak Mau Memproduksinya

Formasi ini terdiri dari ‘kepala’ (badan utama), ‘tanduk’ (kekuatan mengapit) dan ‘pinggang’ (cadangan).

Seberapa Jauh Kebenaran Kisah Ini?

Meskipun kisah kebrutalan dan kegilaan Shaka terkenal hari ini, namun tidak jelas seberapa jauh kebenaran kisah ini.

Namun dikarenakan banyak sumber berasal dari pendongeng Zulu yang bias dari era kolonial, mungkin saja kebrutalannya dibesar-besarkan.

(*)

Artikel Terkait