Seiring jatuhnya Kompeni pada 1799, bersamaan dengan pencabutan "hak oktroinya" sebagai pengusaha di Hindia Timur Belanda, sejak zaman Daendels dan seterusnya, pelayanan dan pemilikan kantor pos berada di tangan pemerintah.
Termasuk hak dan kewajiban pemerintah kolonial Belanda memeriksa dan menyensor surat dan segala isi kiriman lainnya.
Sayangnya, semenjak Daendels menyempurnakan jalur antarkota dan membangun jembatan yang khusus dilalui kendaraan angkutan, berlaku juga pajak "jalan tol" yang diberikan konsesinya ke pengusaha swasta.
Untuk kelancaran dan keamanan, dibangun pondokan untuk petugas keamanan pos, sekaligus pangkalan untuk menggilirkan kuda-kuda segar pengganti kuda hela sebelumnya.
Sistem penggantian dengan pos kuda, di beberapa daerah masih berbekas toponim dengan sebutan pos pengomben atau pos perhentian untuk kuda minum dan istirahat, atau ganti kuda segar baru.
Dengan cara begini, Daendels berusaha meraih cita-citanya menciptakan jalur ekspres atau jalur transportasi cepat untuk penyampaian informasi dari si pengirim ke si penerima, sejalan strategi militernya.
Daendels pun memikirkan servis buat pengguna jalan. Misalnya mengeraskan jalan raya dengan batuan kerikil agar roda tinggi kereta, cikar, dan pedati tidak mudah terperosok ke dalam lumpur.
Sedangkan mulai dari Anyer, melalui Serang dan Tangerang menuju Jakarta misalnya, terdapat 14 "stasion pos", tempat kuda pos diganti.
Dari 14 "stasion pos", delapan berada di Karesidenan Banten.
Sementara di Serang dan Tangerang didirikan penginapan tempat untuk makan dan bermalam...
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari