Penulis
Intisari-online.com - Sudah 11 hari semenjak kudeta Myanmar dilakukan oleh militernya.
Saat ini negara tersebut, dalam kuasa penuh oleh militer meski banyak pihak mengecam tindakan itu.
Bahkan baru-baru ini, Amerika juga menyatakan sudah bertindak untuk memberi sanksi pada Myanmar.
Presiden AS Joe Biden pada Rabu (10/2/2021) mengumumkan sanksi kepada Myanmar untuk melawan para jenderal Myanmar dan mengembalikan demokrasi negara tersebut dari kudeta militer.
Melansir AFP pada Rabu (10/2/2021), Biden mengatakan, pemerintahannya memutus akses keuangan para pemimpin militer Myanmar ke dana 1 miliar dollar AS (Rp 13,9 triliun) di AS dan segera mengeluarkan sanksi baru.
"Saya telah menyetujui perintah eksekutif baru yang memungkinkan kami untuk segera memberikan sanksi kepada para pemimpin militer yang mengarahkan kudeta, kepentingan bisnis mereka serta anggota keluarga dekat," kata Biden.
"Saya kembali menyerukan kepada militer Burma untuk segera membebaskan para pemimpin dan aktivis politik demokratis yang sekarang mereka tangkap, termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint," kata Biden.
"Militer harus melepaskan kekuasaan," tegasnya.
Biden mengatakan bahwa pemerintahannya akan mengidentifikasi target putaran pertama di bawah sanksi minggu ini.
Dia menegaskan kembali bahwa Amerika Serikat tidak akan menghentikan bantuan ke Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, yang ditujukan kepada masyarakat sipil atau kelompok kemanusiaan.
Hukum AS melarang memberi bantuan kepada pemerintah yang mengambil alih kekuasaan melalui kudeta, meskipun hampir semua pendanaan AS ke Myanmar disalurkan melalui kelompok non-pemerintah.
Para jenderal tertinggi termasuk panglima militer yang memimpin kudeta, Min Aung Hlaing, sudah masuk daftar blacklist pelarangan berkunjung dan bertransaksi ke AS.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan bahwa Amerika Serikat masih dapat meningkatkan tekanan lebih lanjut pada para jenderal dengan mengoordinasikan tindakan dengan sekutunya.
"Kami dapat sanksi yang bahkan lebih keras dengan bekerja sama dengan mitra dan sekutu yang sependapat dengan kami," kata Price.
Protes massa terhadap kendali militer telah berlangsung besar-besaran di seluruh kota dan menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi menyusul penggulingannya pada 1 Februari.
Para pengunjuk rasa menghadapi polisi sehari setelah pihak berwenang membubarkan kerumunan di tempat lain dengan gas air mata dan peluru karet, serta meningkatkan pelecehan mereka terhadap partai pemimpin yang digulingkan itu.
Baca Juga: Myanmar Memanas, Tak Ingin Pemerintahan Militer Berkuasa Demonstrasi Lawan Militer pun Berlanjut
Peningkatan kekuatan yang melawan pengunjuk rasa di Myanmar memicu kecaman internasional, setelah petugas melepaskan tembakan langsung tepat kepala seorang demonstran wanita di Najypyidaw.
Selain itu, ada dua orang terluka parah dalam insiden di kota yang telah menjadi ibu kota sejak 2005 itu.
Foto yang menggambarkan demonstran wanita itu pada saat-saat setelah dia ditembak pada Rabu (10/2/2021) muncul di spanduk besar protes dan telah dibagikan online secara luas bersama dengan ekspresi kesedihan dan kemarahan.
"Mereka bisa menembak seorang wanita muda, tetapi mereka tidak bisa mencuri harapan dan ketetapan hati orang-orang yang bertekad," tulis pelapor khusus PBB Tom Andrews di Twitter pada Rabu (10/2/2021).
Massa besar-besaran kembali ke jalan-jalan di Yangon pada Rabu, di mana sehari sebelumnya mereka berhadapan dengan barisan polisi antihuru-hara yang berdiri di samping truk meriam air dekat kediaman Suu Kyi.
Pernyataan sanksi Biden terhadap Myanmar muncul setelah kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell memperingatkan bahwa mereka dapat menjatuhkan sanksi baru pada militer Myanmar, tetapi mengatakan tindakan apa pun harus ditargetkan secara tepat agar tidak memukul populasi yang lebih luas.
Biden mengatakan, AS akan "bekerja dengan mitra internasional kami untuk mendesak negara lain bergabung dengan kami dalam upaya ini (mengembalikan demokrasi Myanmar)."
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-O-Cha mengatakan telah menerima surat dari pemimpin junta baru Myanmar, pada Rabu (10/2/2021).
Prayuth yang pertama kali merebut kekuasaan dalam kudeta Thailand mengatakan Militer Myanmar meminta bantuannya untuk mendukung demokrasi.
Padahal kepala pemerintahan “Negeri Seribu Pagoda” ini menduduki kekuasaannya setelah menggulingkan perdana menteri terpilih pada 2014.
Prayuth tetap menjabat setelah pemilu 2019, kekuasaan yang menurut para pesaingnya sangat cacat.
Melansir Reuters kepada wartawan di Bangkok, pria yang besar dalam keluarga militer itu mengatakan selalu mendukung demokrasi di negara tetangga.
"Kami mendukung proses demokrasi di Myanmar tetapi yang terpenting saat ini adalah menjaga hubungan baik karena berdampak pada masyarakat, ekonomi, perdagangan perbatasan, terutama sekarang," kata Prayuth.
"Thailand mendukung proses demokrasi. Selebihnya terserah dia bagaimana melanjutkannya," katanya.
Tentara Thailand dan Myanmar memiliki hubungan kerja yang erat dalam beberapa dekade terakhir.
Meskipun ada sejarah permusuhan yang panjang antara kedua negara.
Source: Tribun Medan