Penulis
Intisari-Online.com - Seorang anak laki-laki di Desa Tatape, Papua Nugini, meninggal secara tiba-tiba.
Kemudian sanak saudaranya pun buru-buru mengira itu akibat ilmu hitam.
Empat wanita dituduh menggunakan sanguma (ilmu sihir atau guna-guna) untuk membunuh anak itu.
Sersan Daniel Olabe dari Komando Polisi Hela menuduh ayah bocah itu dan yang lainnya memimpin anggota suku mereka ke suatu tempat.
Yakni tempat di mana para 'wanita penyihir' menjual tepung panggang di pasar lokal.
"Akhirnya mereka mendapatkan salah satu 'wanita penyihir' ... dan menyiksanya," katanya sebagaimana dilansir ABC.net.au, Sabtu (26/6/2021).
"Mereka menggantungnya, mengikat tangan dan kakinya, memukulinya dan mulai memotongnya dengan sangat parah.
"Mereka melakukannya sampai pukul 10 malam dan dia akhirnya meninggal."
Tubuhnya yang terpotong-potong ditinggalkan di samping jalan beberapa kilometer jauhnya.
Sebuah video penyiksaan dan pembunuhan menunjukkan kerumunan orang menonton.
Sejauh ini belum ada penangkapan sehubungan dengan pembunuhan itu.
Polisi mengatakan para tersangka telah melarikan diri ke semak-semak dan pegunungan terdekat.
Kasus ini adalah salah satu dari serangkaian pembunuhan dengan tuduhan sihir di PNG dalam beberapa bulan terakhir.
Sementara banyak bagian negara yang percaya pada sihir, yang menjadi perhatian pihak berwenang adalah banyak pembunuhan baru-baru ini terjadi di daerah yang tak punya tradisi sihir.
"Penyiksaan dan pembunuhan ini sangat serius bagi kami," kata Sersan Olabe.
Dalam kasus lain di bulan yang sama, seorang pria dibunuh oleh massa di Daru setelah dituduh menggunakan ilmu sihir.
"Pembunuhan terkait sihir tidak pernah terdengar di Kota Daru," kata Komandan Polisi Daru Inspektur Soiwa Ricker kepada surat kabar lokal The National.
Kepercayaan Tradisional Berubah Menjadi Pembunuhan
Tuduhan sihir dialamatkan pada kematian mendadak atau yang tidak dapat dijelaskan.
Tuduhan sembrono itu dapat dengan cepat menimbulkan penyiksaan hingga hukuman mati tanpa pengadilan.
Tapi Ruth Kissam, seorang advokat yang bekerja dengan LSM lokal Tribal Foundation, mengatakan kekerasan tidak dilatarbelakangi budaya.
"Kekerasan terkait tuduhan sihir meningkat sekitar 10 hingga 15 tahun yang lalu," katanya.
"Secara budaya, ada kepercayaan mendalam pada sihir di banyak bagian Papua Nugini, tetapi itu tidak pernah disertai kekerasan.
"Sistem kepercayaannya adalah sihir melawan sihir, dan sebagian besar diyakini bahwa penyihir desa adalah seorang pria."
Kissam mengatakan sekarang orang-orang yang umumnya dituduh adalah perempuan, seringkali mereka yang sudah terpinggirkan atau rentan dan "mudah menjadi sasaran".
"Sekarang dinamika sudah berubah, lebih ke permainan kekuasaan," katanya.
COVID-19 Bisa Menjadi 'Bom Waktu' Sihir
Ada juga kekhawatiran bahwa kematian yang terkait dengan COVID-19 dapat meningkatkan tuduhan sihir.
Bahkan satu kasus semacam itu sudah terjadi.
Seorang petugas kesehatan masyarakat di kota Goroka tertular COVID-19 dan meninggal di rumah awal tahun ini.
"Keluarga di sukunya mengatakan bahwa sang istri menggunakan sihir untuk membunuh suaminya."
Baca Juga: Catat Kasus Covid-19 Tertinggi dalam Beberapa Bulan, Pemerintah Israel Kembali Berlakukan Aturan Ini
"Jadi masyarakat menangkap wanita itu, menelanjanginya dan menyiksanya dengan besi panas," kata anggota parlemen setempat Aiya Tambua.
Seseorang memberi tahu polisi tentang hukuman mati tanpa pengadilan yang sedang berlangsung. Sebelum petugas tiba, wanita itu sudah terlempar dari jembatan.
Dia selamat tetapi Tambua mengatakan ketika wanita itu berada di rumah sakit, putrinya juga diserang dan perlu diselamatkan oleh polisi.
"(Rumah sakit) mengungkap bahwa ibu dan anak tersebut positif COVID dan ayahnya meninggal karena COVID-19 juga," katanya.
Kissam mengatakan COVID-19 adalah potensi "bom waktu" untuk kekerasan terkait sihir.
"Covid menimbulkan risiko yang sangat kritis saat ini," katanya.
(*)