Menular dan Dapat Akibatkan Kerusakan Otak, Studi Sebut Virus Nipah China Bisa Jadi Pandemi Berikutnya dengan Angka Kematian hingga 75 Persen

Muflika Nur Fuaddah

Penulis

Ilustrasi Virus Nipah

Intisari-Online.com -Dilaporkan pada Minggu (31/1/2021) dan diperoleh laporan dari Medicine Foundation bahwa virus Nipah China kemungkinan akan menjadi pandemi berikutnya, dengan angka kematian hingga 75%.

Wabah virus Nipah berpeluang menjadi pandemi karena perusahaan farmasi Big Mac belum siap karena masih fokus merespons Covid-19.

“Virus Nipah adalah penyakit menular lain yang muncul dan menimbulkan kekhawatiran besar."

"Nipah bisa merebak kapan saja."

Baca Juga: Komedinya Terkenang Sepanjang Masa, Siapa Sangka Charlie Chaplin Jadi 'Monster' Mengerikan Bagi para Gadis-gadis di Bawah Umur Ini

"Pandemi berikutnya bisa jadi infeksi yang tahan terhadap obat,” ungkap The Guardian mengutip Jayasree K Iyer, Direktur Eksekutif Access to Medicine Foundation yang berbasis di Belanda.

Virus ini langka dan disebarkan oleh kelelawar buah, yang dapat menyebabkan gejala mirip flu dan kerusakan otak.

Virus ini dapat menyebabkan ensefalitis atau radang otak, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Perawatan yang biasa dilakukan adalah perawatan suportif yang mencegah penyakit sedini mungin berkembang.

Baca Juga: TNI AL Kirim 2 Dua Kapal Perang Berangkat ke Luar Negeri, Apa Misi yang Diemban dan Seperti Apa Spesifikasi Kapal Perang yang Dibeli dari Inggris Ini?

Wabah virus nipah di negara bagian selatan India, Kerala pada 2018 silam merenggut 17 nyawa.

Oleh karenanya saat itu, negara-negara seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melarang impor buah dan sayuran beku juga olahan dari Kerala.

Ketika itu, para otoritas kesehatan meyakini bahwa wabah nipah di Bangladesh dan India mungkin terkait dengan konsumsi jus kurma.

Baca Juga: Sok-sokan Pinjamkan Uang demi Jadi Negara Adidaya, Kini China Kena Batunya, Uang Tak Kembali hingga Buat Rakyat ChinaJadi Korban Gegara Ulah Pemerintahannya Sendiri

Tak hanya tentang virus nipah, laporan indeks 2021 dari Access to Medicine juga menunjukkan tindakan dari 20 perusahaan farmasi terkemuka di dunia untuk membuat obat, vaksin, dan diagnostik lebih mudah diakses.

Ditemukan bahwa penelitian dan pengembangan untuk Covid-19 telah meningkat dalam setahun terakhir, tetapi risiko pandemi lainnya sejauh ini belum tertangani.

Baca Juga: Arab Saudi Terancam Kehilangan Posisinya Sebagai Sahabat Karib AS di Timur Tengah, Negara yang Baru Berdamai dengannya Awal Tahun Ini Calon Penggantinya

Menurut Iyer, indeks tersebut dikembangkan selama krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad dan menunjukkan ketidaksetaraan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam akses ke obat-obatan.

Menurutnya, jika para pemimpin perusahaan besar bertekad untuk memastikan masyarakat yang hidup di negara miskin dan berpenghasilan menengah tidak tertinggal, maka semua lapisan masyarakat akan memiliki akses terhadap obat-obatan.

Baca Juga: Kamp Kontra-Terorisme, Saat Israel Jadikan Aksi Kekerasannya Terhadap Warga Palestina Sebagai Ajang Atraksi untuk Para Turis

(*)

Artikel Terkait