Nagorno-Karabakh, Pertempuran Manifesto Dendam 30 Tahun yang Justru Rampung Hanya Dua Bulan, Disebut-sebut Jadi Pembelajaran Perang Masa Depan, Ini Sebabnya

May N

Penulis

Kemenangan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh mengakhiri konflik 30 tahun hanya dalam waktu 44 hari, membuat banyak pihak ingin belajar banyak

Intisari-online.com -Sejak gencatan senjata yang diusulkan Rusia disepakati Ilham Aliyev dan Nikol Pashinyan, pertempuran Nagorno-Karabakh resmi berakhir.

Gencatan senjata itu ditandatangani pada 9 November, mengakhiri pertempuran yang berlangsung sejak 27 September.

Konflik terhitung terjadi dalam waktu yang singkat, membuat perhatian banyak pihak tidak bisa mengabaikan pertempuran itu.

Pasalnya, konflik antara Armenia dan Azerbaijan sudah ada sejak 30 tahun lamanya, tepatnya segera setelah keduanya pecah dari Uni Soviet.

Baca Juga: Begitu Diharapkan Armenia untuk Membekingi Mereka, Putin Malah Berkhianat dan Sebut Nagorno-Karabakh Resmi Milik Azerbaijan, Begini Posisi Rusia di Gencatan Senjata Itu

Segera setelah itu keduanya memperebutkan wilayah Nagorno-Karabakh.

Meskipun secara administrasi Karabakh menjadi milik Azerbaijan, tapi Armenia merasa patut memiliki wilayah itu atas sentimen dendam sejarah akibat Perang Dunia Pertama.

Beberapa kali ketegangan memuncak pernah terjadi, tapi tidak pernah ada yang separah pertempuran 44 hari itu.

Itulah sebabnya banyak pihak yang tercengang karena rupanya konflik puluhan tahun bisa selesai kurang dari dua bulan saja.

Baca Juga: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Sudah Kalah Perang, Armenia Kini Dihadapkan pada Buah Simalakama, 'Tunduk' pada Rusia atau Terjun ke Dalam Jurang Bencana

Hebatnya lagi, konflik itu terjadi antara dua negara yang memiliki kemampuan militer yang sama hebatnya.

Kedua belah pihak memiliki teknologi militer yang mutakhir, tapi Azerbaijan menjadi negara yang memenangkan perang singkat itu.

Itulah sebabnya, dampak dari konflik ini akan terus bergema di luar wilayah.

Bahkan meskipun konflik itu sepenuhnya sudah selesai, kini negara-negara besar malah sibuk membahasnya untuk mempelajari medan perang modern.

Baca Juga: Luka Belum Juga Kering, Video-video Kekejaman Tentara di Nagorno-Karabakh Beredar, Termasuk Mutilasi Mayat

Mengutip Moscow Times, kini pembelajaran dari perang Azerbaijan dan Armenia menjadi pembelajaran baru bagi negara-negara adidaya.

Kesuksesan Azerbaijan menggunakan drone terbukti menjadi sensasi taktis.

Namun, banyak desas-desus adanya pengorbanan jika memajukan sistem drone, maka pertahanan udara akan lemah sampai tidak dapat mendukung pasukan darat.

Tetap saja, penggunaan sistem pesawat tanpa awak (UAS) atau drone di konflik ini menandai evolusi perang daripada revolusi penggunaan senjata udara.

Baca Juga: Tak Ada Angin Tak Ada Hujan Tentara China Tiba-tiba Isyaratkan Perang Dengan 'Mempelajari' Ini Dari Sengketa Nagorno-Karabakh

Banyak militer negara lain mulai belajar dari perang seperti Nagorno-Karabakh untuk mempelajari kemampuan, doktrin, seni operasi dan bagaimana pasukan mereka mungkin menghadapi tantangan yang mirip atau bahkan berperang dengan yang lebih canggih.

Militer Amerika Serikat menjadi salah satu yang sedang mencari definisi konflik, layaknya pada Perang Arab-Israel tahun 1973, untuk membentuk arah investasi masa depan.

Selain belajar dari Armenia-Azerbaijan, AS juga mempelajari konflik Rusia dengan Ukraina.

Dalam hal kemampuan, tampak jelas jika sistem operasi remote seperti drone menawarkan keuntungan kekuatan udara, sensor dan senjata tepat sasaran untuk negara dengan militer 'mediocre'.

Baca Juga: Indonesia Pernah Jadi Korbannya, Senjata Militer China Ternyata Memiliki Kualitas Buruk, yang Baru Membelinya Terpaksa Tidak Menggunakannya

Kemampuan itu dijual murah kepada mereka dibandingkan dengan jet tempur yang harus dioperasikan pilot dan terhitung mahal.

Teknologi jet tempur menyebar jauh lebih cepat daripada yang diperkirakan pembuatnya, atau sistem pertahanan udara akhirnya menyesuaikan diri bersiap melawan sistem itu sehingga akhirnya akan lebih siap lagi.

Namun untuk drone, ada tantangan pasti untuk pertahanan udara modern dan pasukan darat.

Konflik Nagorno-Karabakh membantu menyelesaikan pertanyaan mengenai apakah warisan pertahanan udara seperti sistem lawas Soviet yang dipakai Armenia bisa melawan drone perang.

Baca Juga: Menilik 5 Jet Tempur Terbaik di Tahun 2020 Ini, Sukhoi dan Lockheed Martin Masih Berebut Posisi Nomor 1, Seperti Apa Saja?

Jawabnya sudah sangat jelas, sistem itu sudah usang, lebih-lebih ketika kombinasi drone digunakan untuk menarget dan menyerang.

Sementara itu melihat sistem pertahanan udara memang memiliki beberapa performa apik, tapi itu tidak selamanya.

Tercatat sejumlah senjata Rusia Pantsir-S1s Rusia telah hancur di konflik lainnya, sementara senjata Turki drone TB2 juga sudah hancur di Libya.

Ini semua dapat disimpulkan jika keunggulan drone masih dipengaruhi sistem, operator dan konteksnya.

Baca Juga: Pesawat Tanpa Awak Makin Ungguli Jet Tempur, Ini Daftar 10 Drone Tempur Terbaik di Tahun 2020

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait