Penulis
Intisari-Online.com - Sepanjang tahun 2020, apapun yang dilakukan China selalu menarik perhatian dunia.
Ini karena dua hal besar.
Pertama pandemi virus corona (Covid-19) yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China.
Kedua terkait konflik Laut China Selatan yang memancing amarah beberapa negara di Asia Tenggara. Termasuk konflik dengan Amerika Serikat (AS).
Walau negara ini begitu bergejolak, nyatanya arus modal asing mengalir deras ke obligasi dan saham China.
Hal ini turut meningkatkan nilai mata uang yuan yang menguat signifikan ke level tertinggi selama tiga dekade terakhir.
Dilansir dariBloomberg,Minggu (13/12), asing mulai membanjiri aset dalam mata yuan pada 2021.
Ini karena China menawarkan imbal hasil yang jauh lebih baik dibandingkan negara lain menurun ekonom China di Citigroup Inc, Liu Li-gang.
Dia memperkirakan mata uang yuan dapat meningkat 10% menjadi 6 yuan per dolar atau lebih tinggi pada akhir tahun depan.
Padahal, yuan belum sekuat ini sejak akhir 1993, tepat sebelum penyatuan nilai tukar resmi dan pasar China memicu penurunan mata uang.
Yuan telah melemah sejak akhir Mei, melonjak ke level tertinggi lebih dari dua tahun karena data menunjukkan ekonomi China pulih dari pandemi virus.
Dana asing telah meningkatkan kepemilikan mereka atas obligasi dan saham dalam negeri lebih dari 30% tahun ini yang didorong oleh inklusi indeks dan premi suku bunga di atas pasar lain.
Beijing sendiri telah melonggarkan pembatasan modal untuk memungkinkan lebih banyak arus keluar.
Kondisi tersebut justru menempatkan Bank Rakyat China dalam kebingungan sehingga perlu mempersempit imbal hasil yuan di seluruh dunia untuk memperlambat apresiasi.
Sebab, mata uang yang terlalu kuat dapat merusak dorongan terhadap rebound ekonomi yang masih bergantung pada permintaan global untuk ekspor China.
Sementara itu, bank ingin mempertahankan suku bunga tinggi karena stimulus Beijing sebelumnya membantu memicu peningkatan leverage yang cepat, mengirimkan indikator tingkat utang negara itu ke rekor tertinggi.
“Masalah yang dihadapi China tahun depan akan sangat besar, aliran masuk modal yang tak henti-hentinya."
"Apresiasi yuan akan menjadi ancaman utama bagi ekonomi makro China," terangnya."
"Mata uang China telah menguat hampir 10% dari level terendah tahun ini pada akhir Mei, menjadikannya pemain terbaik kedua di Asia setelah won Korea Selatan."
"Yuan diperdagangkan pada 6,5460 pada hari Jumat.
Imbal hasil obligasi pemerintah China naik beberapa bulan terakhir karena spekulasi Bank Rakyat Indonesia yang akan keluarkan stimulus moneter.
Itu telah membantu memperluas keunggulan suku bunga yuan atas dolar ke rekor terbesar.
Selain itu, kenaikan mata uang karena didukung kemenangan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) sehingga tensi permusuhan kedua negara diperkirakan mereda.
Kondisi dolar yang lebih lemah juga berkontribusi pada apresiasi.
Kemajuan pesat yuan dapat mengganggu ekspor China menjadi lebih mahal. Yang pada gilirannya akan merugikan pertumbuhan China.
Selain itu, apresiasi mata uang yang berkelanjutan dapat menarik aliran uang masuk sehingga memicu penggelembungan aset lokal dan menciptakan risiko keuangan.
Itu sebabnya pembuat kebijakan akan berusaha untuk memperlambat kenaikan, kata Dariusz Kowalczyk, ahli strategi pasar berkembang senior di Credit Agricole CIB.
Bank Rakyat China selanjutnya dapat melonggarkan pembatasan dana asing yang kabur dan mengarahkan nilai tukar lebih lemah dengan tingkat referensi harian.
(Ferrika Sari)
(Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Dana asing mengalir deras ke China")