Find Us On Social Media :

Dulu Koar-Koar Ingin Merdeka dari Indonesia, Giliran Sudah Merdeka Xanana Gusmao Malah Ungkap Kondisi Asli Timor Leste Sangat Kacau, Bahkan Sampai Memilih Angkat Tangan

By Afif Khoirul M, Rabu, 2 Desember 2020 | 09:54 WIB

Kolase Xanana Gusmao dan bendera Timor Leste.

Intisari-online.com - Seperti kita ketahui, tokoh besar dalam kemerdekaan Timor Leste adalah nama Xanana Gusmao.

Xanana Gusmao dipandang sebagai orang yang paling lantang meneriakkan kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.

Meskipun usahanya pada akhirnya berakhir untuk merdeka, bukan berarti Timor Leste juga berhasil menjadi negara.

Banyak kisah pahit terungkap setelah Timor Leste memutuskan merdeka dari Indonesia.

Baca Juga: Pantas Saja Penyebarannya Semakin Menjadi-jadi Bahkan Tak Terbendung, Ternyata Ada Ratusan Mutasi Virus Corona Bermunculan di Seluruh Dunia, Ahli Tak Bisa Berbuat Apa-apa

Menurut Asia Sentinel, pemimpin sekaligus pendiri Timor Leste Xanana Gusmao, pada November 2014, mengumumkan untuk mundur sebagai perdana menteri, sekaligus dunia politik.

Pengumuman itu muncul pada saat negara tersebut dirundung isu kegagalan negara, dan kesalahan urus yang merajalela.

Sejak meredeka dari Indonesia, Xanana Gusmao telah mendominasi dunia politik negara kecil itu.

Tetapi niatnya mengundurkan diri membuat banyak orang menuduhnya pengecut, karena dia yang memikul semua kekacauan saat ini.

Baca Juga: Optimis Kalahkan Amerika dari Sektor Teknologi, China Sukses Daratkan Pesawat Ruang Angkasa Robot di Bulan, Geser Rekor Uni Soviet 44 Tahun

Pengunduran dirinya menciptakan kekosongan kekuasaan dan memperburuk krisis di Timor Leste.

 

Kegagalan negara di Timor Leste dapat menimbulkan konsekuensi yang parah bagi keamanan regional.

Menciptakan krisis pengungsi dan menyediakan tempat berlindung yang aman bagi organisasi kriminal dan kegiatan terlarang lainnya.

Meskipun mendapat dukungan internasional yang besar dan uang minyak, negara ini tetap rapuh.

Lebih dari satu dekade setelah kemerdekaan dari negara tetangga Indonesia dan dua intervensi PBB, bekas jajahan Portugis itu tetap menjadi negara yang miskin dan rapuh.

Selama satu dekade Timor Leste adalah penerima bantuan luar negeri tertinggi di dunia, dalam istilah per kapita, dengan Australia, Portugal dan Jepang menanggung sebagian besar tagihan.

Bahkan ketika negara itu, sejak 2007, telah menerima pendapatan yang signifikan dari minyak dan gas di sebesar 2 miliar dollar AS setahun.

Sangat sedikit yang telah menjangkau masyarakat umum sementara infrastruktur negara tetap menjadi salah satu yang terburuk di kawasan dengan pemadaman listrik yang sering terjadi bahkan di ibu kota Dili.

Menurut laporan International Crisis Group Mei 2013, 71 persen tenaga kerja di Timor Leste menganggur atau hanya bekerja secara informal.

Baca Juga: Bukan Bom Atom, Jepang Menyerah dalam Perang Dunia II karena Hal Lain yang Terjadi di Kota dalam Peta Ini

Hampir dua pertiga penduduk negara itu berusia di bawah 30 tahun menciptakan sumber ketegangan yang serius.

Sepertiga negara itu hidup dalam kemiskinan dan 50 persen buta huruf.

Pada 2010, negara ini memiliki tingkat urbanisasi tertinggi di dunia dengan 5 persen per tahun dengan ribuan pemuda pengangguran pindah ke ibu kota.

Permukiman kumuh dengan kondisi memprihatinkan bermunculan di kaki pegunungan yang mengelilingi Dili.

Sementara rumah mewah seperti yang dibangun oleh Menteri Keuangan Emilia Pires di Farol didirikan oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa.

Timor Leste tidak asing dengan kemiskinan.

Namun, munculnya kantong-kantong kecil kemakmuran di samping kemiskinan adalah hal baru.

Pelacuran anak biasa terjadi, bahkan di kalangan anak sekolah.

Pada bulan Juni tahun ini, Sekretaris Negara untuk Gender mengatakan kepada media bahwa prostitusi meningkat di negara tersebut, khususnya di kalangan siswa sekolah menengah.

Baca Juga: Dituduh Jadi Biang Kerok Krisis Politik Malaysia, Mantan PM Malaysia Mahathir Berikan Jawaban Ini

Korupsi dengan cepat menjadi endemik dengan beberapa skandal yang terungkap di media yang melibatkan menteri dan pejabat senior lainnya.

Kasus yang paling konyol adalah kasus menteri kehakiman, yang menghina pengadilan karena menolak membayar tunjangan anak untuk anaknya yang sakit kronis.

Menyusul pemilihan umum Juli 2012, Gusmao membentuk pemerintahan terbesar di Asia Pasifik dengan kabinet yang terdiri dari 55 anggota ini di negara dengan populasi lebih dari 1 juta.

Tak heran, birokrasi negara kacau balau dengan pengakuan Gusmao sendiri.

Bahwa sebagian besar kementeriannya hanya mampu menggunakan sekitar 30 persen dari anggaran tahunan mereka yang dialokasikan untuk kementerian.

Pegawai negeri tidak dibayar selama berbulan-bulan, dan ratusan penasihat internasional bekerja tanpa bayaran selama setahun.

Pemerintah tidak hanya sangat besar, tetapi termasuk menteri yang dituduh melakukan pembunuhan hingga pelecehan seksual.