Penulis
Intisari-online.com -Berbicara tentang pandemi Covid-19, ada negara yang kerepotan tangani pandemi ini.
Namun ada juga negara yang seperti Korea Utara, yang tercatat Juni lalu membuka sekolah-sekolah dan sempat mudahkan larangan di perbatasan dengan China.
Banyak yang melihat saat itu sebagai sinyal kembalinya normal ke Kerajaan itu.
Tapi apakah memang demikian?
Banyak yang meragukan statistik korban Covid-19 di Korea Utara demikian pula dengan jumlah infeksi yang terjadi.
Namun para ahli secara umum percaya jika Korea Utara malah berhasil mengendalikan virus karena institusi pemerintahannya dan mekanisme tepat waktu.
Dilansir dari The Interpreter, meskipun Korea Utra melarat, tapi untuk urusan penanganan pandemi, waktu lebih penting daripada sumber daya.
Bahkan penanganan murah seperti pelacakan kontak dan karantina terbukti dapat mencegah penyebaran skala komunitas.
Penanganan itu juga meringankan beban infrastruktur kesehatan Korea Utara.
Apa yang malah diraih Korea Utara dari pandemi
Masih mengutip The Interpreter, rupanya Korea Utara malah mendapat lebih banyak keuntungan dibandingkan kerugian dari pandemi ini.
Korea Utara bisa saja menderita secara ekonomi.
Namun strategi mereka mencuri waktu lebih awal telah semakin menguntungkan negara mereka.
Pandemi juga justru malah menguatkan negara itu.
Aneh tentunya, karena banyak negara lumpuh karena pandemi, tapi Korea Utara malah mendapat keuntungan yang mungkin tidak akan didapatkan jika tidak ada pandemi.
Hal ini rupanya ada kaitannya dengan abainya AS atas isu Korea Utara.
Amerika Serikat (AS) lumpuh setelah pandemi menyerang negara mereka.
Sebelumnya AS ditinggal oleh Korea Utara dari perjanjian itu dan meninggalkan isu itu terbuka menganga tanpa berikan kesimpulan apapun.
Pyongyang boleh kecewa, tapi tidak mengherankan jika mereka senang dengan hal itu.
Dengan mereka sudah tidak diperhatikan oleh AS lagi, Pyongyang bisa mendapat bantuan-bantuan dari dua negara yang tidak dikira akan memberikan bantuan.
China dan Korea Selatan adalah dua negara tersebut.
Hal ini akan membuat Korea Utara bisa tumbuh lebih kuat daripada sebelumnya.
Meskipun kekuatan Korea Utara tidak secara langsung tumbuh, tapi Pyongyang bisa tetap tersenyum puas.
Pandemi memang membuat kehidupan Korea Utara lebih susah.
Keputusan mereka untuk menutup perbatasan dengan China telah merusak ekonomi mereka lebih besar daripada sanksi internasional.
Ekspor Korea Utara ke China Maret lalu jatuh sampai 96% dibandingkan pada Maret 2019.
Nilai ekspor Korea Utara ke China hanya sampai 616 ribu Dolar AS atau Rp 8,6 Miliar saja.
Warga Pyongyang kemudian mengalami kekurangan bahan dari luar negeri dan peningkatan harga barang rumah tangga dan bahan makanan yang tidak masuk akal.
Lebih jauh lagi, industri turisme 'balita' Korea Utara juga terhambat dan menghadapi masa depan tidak jelas.
Hal ini karena Korea Utara tidak bisa bergantung pada turis luar negeri membangkitkan ekonomi mereka saat vaksin Covid-19 tidak tersedia.
Ekonomi sangat-sangat parah sampai-sampai Pyongyang menerbitkan obligasi pemerintah dan menggunakan paksaan untuk menopang keuangan negara.
Namun, kejatuhan ekonomi tersebut sementara dapat diimbangi dengan kekuatan dari China dan musuh mereka, Korea Selatan.
Sampai saat ini, China sebenarnya menghadapi dilema atas sanksi internasional kepada Korea Utara.
Mereka menentang sanksi ini dan beranggapan jika atutan ketat seperti itu dapat membuat Korea Utara mati.
Akibat ada pandemi, Beijing diperbolehkan bekerja sama dengan Pyongyang untuk melawan Covid-19 dan menyediakan bantuan kepada negara itu tanpa ada pandangan buruk terkait melanggar sanksi.
China telah sangat vokal menyebutkan pengangkatan sanksi kepada Korea Utara, karena bagi mereka hal itu justru hanya lebih menyakiti warga Korea Utara yang tidak bersalah.
Korea Utara dan China juga telah menyiapkan perluasan pertukaran di perbatasan, seiring dengan kontrol perbatasan atas pandemi sudah semakin ringan.
Ketertarikan Korea Selatan
Korea Selatan rupanya juga lega dengan diangkatnya sanksi untuk Korea Utara dalam kondisi Covid-19 ini.
Moon Jae-In, presiden Korea Selatan semakin tertarik untuk memperkuat kerjasama kesehatan antara dua negara.
Hal ini karena Moon Jae-In tidak lagi menghadapi tantangan kritik dari dalam negeri sampai berakhirnya masa jabatannya.
Moon semakinkuat mendorong pertukaran antar-Korea secara mandiri tanpa bantuan Amerika Serikat dan juga menjadikan program itu sebagai program berkelanjutan sampai ia digantikan oleh penerusnya.
Beberapa contoh upaya mereka adalah Seoul membuka kembali Kompleks Industri Kaesong untuk memproduksi masker wajah dan APD.
Kemudian jalur kereta di perbatasan dapat dihubungkan kembali untuk mengirim bantuan kemanusiaan kepada Korea Utara lewat transportasi darat, membuat kasus yang lebih kuat untuk dilewati Komando PBB, yang mengontrol perbatasan antar Korea dan telah mendikte langkah inisiatif perdamaian Moon.
Sehingga, walaupun negaranya hampir mati karena Covid-19, Korea Utara tetap bisa memetik keuntungan karena pandemi Covid-19 sembari tetap lanjutkan program nuklir mereka.
Hal ini telah terlihat dengan parade militer Korea Utara Oktober lalu, Pyongyang pamerkan rudal balistik besar yang bisa diluncurkan dari kapal selam (SLBM).
Kini dengan kekalahan Donald Trump dan dengan segera digantikan oleh Joe Biden yang tidak tertarik kepada perjanjian dengan Korea Utara, isu Korea Utara bisa diabaikan secara utuh oleh Amerika Serikat dan Korea Utara bisa bangkit dari kelumpuhan mereka lagi.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini